Entri Populer

Kamis, 17 Maret 2011

proposal wh


BAB I
PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang
            Aceh adalah lokasi pertama masuknya Islam di Asia Tenggara, tepatnya di Peurlak Aceh Timur pada tanggal 1Muharram 225 Hijriah. Secara konsisten masyarakat Aceh menerapkan Syari’at Islam secara formal. Istilah "Serambi Mekah" sebagai predikat yang dilabelkan kepada daerah Nangroe Aceh Darussalam (NAD) memperlihatkan bahwa daerah Aceh sangat kental dengan tradisi keislaman. Islam di Nangroe Aceh Darussalam tidak saja menjadi agama mayoritas penduduk, bahkan prinsip-prinsip keislaman telah dijadikan sebagai rujukan mutlak bagi hukum yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat Nangroe Aceh Darussalam. Salah satu acuan dalam penerapan Syari’at Islam di Aceh yang telah termodifikasi adalah Qanun Al-Asyi (Adat dan Hukum Islam) yang dibuat pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Yaitu Adat dijadikan sebagai fungsi untuk mengharmoniskan kehidupan masyarakat berupa penyeimbangan kehidupan antar pribadi dan antar kelompok. Dalam melaksanakan fungsi tersebut Adat-istiadat harus berpegang teguh kepada landasan sejalan dengan ajaran Agama yang dianut oleh masyarakat Aceh. Qanun inilah yang menjadi salah satu landasan hukum sebagian besar kesultanan yang ada di Asia Tenggara dalam menerapkan Syari’at Islam diwilayahnya masing-masing.
Semenjak zaman penjajahan Belanda, para penguasa yakni kaum penjajah mereka berlahan-lahan menggantikan hukum Islam dengan hukum buatan Belanda untuk diterapkan dimasyarakat Aceh. Hingga sampai pada masa kemerdekaan dan Orde Baru, masyarakat Aceh telah mengalami alienasi terhadap Syari’at Islam.
Sejarah penerapan Syari’at Islam di Aceh sangatlah kompleks. Begitu juga dengan masyarakat Aceh, yang merupakan masyarakat yang tidak terlepas dari Syari’at Islam dan Adat Istiadat. Identitas Aceh tidak didasari pada itu saja, tapi juga didasari faktor-faktor etnis, politik, ekonomi dan sejarah. Konflik dengan Belanda dan pemerintah pusat sering dikaitkan dengan usaha-usaha untuk penerapan hukum Syari’at Islam. Oleh sebab itu peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendekatan nilai-nilai struktural keislaman dinilai banyak pihak merupakan langkah yang tepat, karena dapat mengontrol penyimpangan dan sesuai pula dengan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Aceh dahulu, yang secara historis telah dikenal dengan tiga keistimewaan yaitu, pendidikan, Agama dan Adat Istiadat.
Sampai pada perkembangannya sejarah penerapan Syari’at Islam di Aceh dilembagakan melalui dukungan: Undang-Undang no. 44 tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh yang meliputi agama, adat, pendidikan, dan juga peran Ulama. Disahkan pula UU No. 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Dalam undang-undang ini, kepada Aceh diberikan Peradilan Syari’at Islam yang akan dijalankan oleh Mahkamah Syari’ah, yang kewenangannya ditetapkan oleh Qanun Setelah itu juga muncul Undang-Undang yang mengakomodir keinginan masyarakat Aceh untuk menerapkan Syari’at Islam kembali seperti Uundang-Undang kekuasaan kehakiman No. 4 tahun 2004 yang memberikan peluang untuk dibentuknya Mahkamah Syari’ah di Aceh, dan yang terakhir adalah Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh yang dibuat berdasarkan butir-butir perjanjian damai antara pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki Finlandia.(Abu Bakar, tt: 4-5).
Secara formal aplikasi Syari’at Islam di Aceh telah didukung oleh Undang-Undang dan Qanun-qanun yang bersifat publik. Ada 4 Qanun yang diterapkan kepada masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Syaria’at Islam, yaitu :
  1. Qanun no. 11 th 2002 tentang pelaksanaan syari’at islam bidang akidah, ibadah dan syi’ar islam. Kemudian disusul oleh
  2. Qanun no.12 th 2003 tentang minuman qhamar (minuman keras),
  3. Qanun no.13 th 2003 tentang maisir (perjudian), dan
  4. Qanun no.14 th 2003 tentang khalwat (perbuatan mesum dan pergaulan bebas). (perda, 2006 : 30-108)
            Melalui peranan Qanun-qanun diatas diharapkan dapat merubah perilaku masyarakat sesuai dengan Syari’at Islam kembali oleh karena itu diperlukan dukungan dan partisipasi dari masyarakat luas agar terwujud peranan Syari’at Islam yang khaffah. Maka untuk menerapkan Syaria’at Islam diperlukan kesiapan masyarakat dan aparat penegak hukum yang disini diserahkan kepada institusi Wilayatul Hisbah sehingga tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan Sayri’at Islam.
Wilayatul Hisbah adalah institusi pemerintahan baru yang diperkenalkan di Aceh. Di masa kesultanan Aceh, namun pada saat itu tidak dibentuk sebuah lembaga khusus untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Karna pada masa itu perannya sudah memadai yang dilakukan oleh para Ulama, Imam Gampong, keucik, dan para orang tua yang disegani, apalagi pada masa itu, rakyat Aceh punya kesadaran religius yang tinggi, sehingga keberadaan sebuah institusi pemerintahan yang tugasnya memantau pelaksanaan Syari’at belum dirasa perlu. Setiap individu dengan kesadaran masing-masing menjadi petugas Wilayatul Hisbah, menegur dan mengingatkan saudaranya sekiranya mereka melakukan perkara yang bertentangan sSyari’at dan selalu mengajak saudaranya melakukan perbuatan-perbuatan ma’ruf yang dianjurkan Syari’at Islam pada masa itu.
Institusi Wilayatul Hisbah dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 01 Tahun 2004, mempunyai susunan organisasi yang terdiri atas, Wilayatul Hisbah Provinsi, Wilayatul Hisbah Tingkat Kabupaten/Kota, Wilayatul Hisbah Tingkat Kecamataan dan Wilayatul Hisbah Kemukiman, bahkan memungkinkan di bentuk di Gampong dan lingkungan-lingkungan lainnya. (Qanun NAD Nomor 11 Bab VI, Pasal 14 ayat 2).
Seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman dirasa perlu sebuah institusi khusus yang tugasnya mengawasi pelaksanaan Syari’at islam, apalagi saat ini Aceh telah secara resmi bermaksud melaksanakan Syari’at Islam secara kaffah. Wilayatul Hisbah yang merupakan institusi klasik dirasakan signifikan kehadirannya di zaman kontemporer. Namun tidak sampai itu saja hingga pada saat penerapan Syari’at Islam yang di jalankan oleh petugas Wilayatul Hisbah menuai pro dan kontra dari masyarakat Aceh sendiri. Mulai dari kinerja Wilayatul Hisbah yang dinilai tidak tepat karna petugasnya masih banyak yang melanggar Hukum Islam, hingga pada ketakutan masyarakat ketika penerapan hukum cambuk, potong tangan, qishahsh, ta’zir dan berbagai hukuman lainnya. Sepatutnya orang yang menduduki jabatan/petugas Wilayatul Hisbah mestilah orang yang saleh, tidak berperangai buruk, mengetahui hukum-hukum Islam, berintegrasi dan professional.
Disinilah dibutuhkan peran dan fungsi Wilayatul Hisbah dalam mensosialisasikan, mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang Syari’at Islam dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar, agar masyarakat tidak mengalami traumatis yang kedua kalinya setelah masa konflik kini mereka tidak harus menerima terapi ketakutan lagi akan Qanun Jinayat (Penerapan hukuman potong tangan bagi pencuri).
            Bagi masyarakat Desa Rimo yang terletak di Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil sendiri, sesuai dengan hasil observasi peneliti menemukan adanya bentuk stagnasi dalam kinerja Institusi Wilayatul Hisbah dan keberadaan Institusi Wilayatul Hisbah dalam menegakkan Syari’at Islam selama 7th ini belum menunjukkan hasil yang optimal, terlihat dari masih banyaknya perilaku-perilaku yang menyimpang dari Syari’at Islam. Baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun dari petugas Wilayatul Hisbah sendiri. Perilaku menyimpang yang sering menjadi masalah di Desa Rimo,  seperti minuman keras, kasus perjudian, khalwat, berpakaian tidak menutup aurat, penyalah gunaan obat-obatan terlarang, pergaulan bebas, pornografi, dan sebagainya bahkan meliputi kasus korupsi. Prilaku tersebut merupakan bahagian dari penyimpangan dan di luar ketentuan Syari’at Islam, serta pandangan masyarakat terhadap kinerja wilayatul Hisabah dalam menegakkan Syari’at islam hanya menangkap masyarakat kalangan bawah, tidak ada kontrol terhadap mereka yang berada di lembaga pemerintahan atau kalangan atas yang melakukan pelanggaran Syari’at Islam seperti korupsi.  Hal ini tentu menjadi nilai dan kesan kontraversial bagi pandangan masyarakat serta merupakan kejanggalan sementara dari peneliti untuk menerapkan berbagai skeptis terhadap keberadaan Institusi Wilayatul Hisbah terkait akan kapasitas peran dan fungsi Wilayatul Hisbah didalam menegakkan Syari’at Islam.

1.2. Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi Fokus penelitian setelah melihat  kondisi yang tersaji pada konteks diatas yang merupakan salah satu bagian dari landasan pemikiran dari peneliti untuk memfokuskan penelitian terhadap kapasitas peran dan fungsi dari Wilayatul Hisbah didalam memanifestasikan setiap regulasi yang berlaku dalam ronah Wilayatul Hisbah, dan mengembalikan kejayaan Syari’at Islam di bumi Nengroe Aceh Darussalam, serta melihat sejauh mana kapasitas yang dimiliki Institusi ini dalam mensosialisasikan setiap Qonun ditengah ancaman pergeseran nilai budaya masyarakat Aceh yang semakin modern, serta menggali secara jelas dan terperinci apakah yang menjadi pokok kebutuhan masyarakat Aceh. Sudah tepatkah keberadaan institusi Wilayatul Hisbah dalam pandangan masyarakat setelah melihat kebanyakan masyarakat yang pro dan kontra terhadap keberadaan institusi Wilayatul Hisbah di Aceh Khususnya di Desa Rimo, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil.

1.3. Perumusan Masalah
            Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah  “Bagaimanakah kapasitas peran dan fungsi institusi Wilayatul Hisbah dalam menegakkan Syari’at Islam di Desa Rimo Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil?”

1.4. Tujuan Penelitian
            Berdasarkan perumusan masalah di atas maka, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui kapasitas peran dan fungsi institusi Wilayatul Hisbah dalam menegakkan Syari’at Islam di Desa Rimo Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil tahun 2011.

1.5. Manfaat Penelitian
            Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
1.5.1. Manfaat Teoritis
            Adapun yang menjadi manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah :
-     Untuk melatih dan mengembangkan kemampuan peneliti, dalam melakukan penelitian dibidang ilmu sosial, khususnya dalam ilmu sosiologi dan
-     Hasil penelitian ini hendaknya dapat menjadi sebuah kajian ilmiah dan masukan           bagi masyarakat serta institusi terkait yang menangani tentang Syari’at Islam.

1.5.2. Manfaat Praktis         
-     Sebagai masukan-masukan yang bermanfaat bagi pihak-pihak terkait dengan permasalahan yang terjadi dan dapat menjadi referensi untuk kajian atau penelitian selanjutnya
-     Memberikan masukan kepustakaan serta menjadi sumber masukan kepada instansi terkait dalam membuat kebijakan-kebijakan yang terkait dengan Syari’at Islam.

1.6. Kajian Pustaka
1.6.1. Institusionalisasi
            Institusionalisasi adalah suatu proses terbentuknya suatu institution. Yaitu suatu bentuk tindakan atau pola perilaku yang sebelumnya merupakan sesuatu yang baru, kemudian diakui keberadaannya, dihargai, dirasakan manfaatnya dan seterusnya diterima sebagai bagian dari pola tindakan dan pola perilaku lingkungan tertentu. Proses institusionalisasi terjadi apabila pola perilaku tersebut semakin melembaga, semakin mengakar dalam kehidupan lingkungan sosial tertentu.
            Institusi sosial atau dikenal juga sebagai lembaga kemasyarakatan salah satu lembaga lembaga yang mengatur rangkaian  tata cara dan prosedur dalam melakukan hubungan antar manusia saat mereka menjalani kehidupan bermasyarakat dengan tujuan mendapatkan keteraturan hidup. (soekanto, 199:2003).
            Dalam Sosiologi dikenal ada empat tingkatan dalam proses pelembagaan, Pertama; cara (usage) yang menunjuk pada suatu perbuatan. Kedua; kemudian cara berbuat inin berlanjut dilakukan sehingga menjadi kebuiasaan (fokways) yaitu perbuatan  yang selalu berulang-ulang dalam setiap usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Ketiga; apabila kebiasaan itu kemudian diterima sebagai patokan atau norma pengatur kelakuan bertindak, maka didalamnya sudah termasuk unsur pengawas dan jika terjadi penyimpangan pelakunya akan dikenakan sanksi. Keempat; tata kelakuan yang semakin kuat yang mencerminkan kekuatan pola kelakuan masyarakat yang mengikat para anggotanya; tata kelakuan ini disebut Adat-istiadat (custom). Bagi anggota masyarakat yang melanggar aturan Adat maka ia akan mendapatkan sanksi yang lebih keras. (Abdulsyani 2002:77).
Terjadinya lembaga sosial bermula dari tumbuhnya suatu kekuatan ikatan hubungan antara manusia dalam suatu masyarakat yang sangat erat kaitanya dengan keberlakuan suatu norma sebagai patokan dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti kebutuhan akan rasa kedamaian, kerukunan, keadilan dan ketentraman keluarga misalnya. Kebutuhan akan keadilan serta ketentraman membentuk suatau wadah yakni lembaga hukum yang dalam kaitannya disini adalah institusi Wilayatul Hisbah.
1.6.2. Institusi Sosial dan Hukum
            Institusi sosial pada hakikatnya digunakan sebagai alat, atau perlengkapan masyarakat untuk menjamin agar kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat dapat terpenuhi secara seksama. Sejalan dengan ketertiban dan keadilan sebagai kebutuhan masyarakat, maka diperlukan institusi yang akan memenuhi kebutuhan tersebut. Institusi social memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Stabilitas, yakni kehadiran institusi hukum menimbulkan kemantapan dan keteraturan dalam usaha untuk mencari keadilan tersebut.
b.      Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat.
c.       Sebagai kerangka sosial untuk kebutuhan manusia tersebut maka institusi menampilkan  wujudnya dalam bentuk norma-norma.
d.      Adanya jalinan antar institusi, dimana ada interaksi atau kaitan antara institusi yang satu dengan institusi yang lain di dalam masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan.
            Kehadiran institusi dalam masyarakat, menjadi penting karena ada suatu proses yang harus ditempuh masyarakat untuk menjadikan institusi tersebut, sebagai suatu sarana yang dapat mejalankan peranannya dengan baik.
            Hukum sebagai institusi sosial secara umum bertujuan untuk menyelenggarakan keadilan dalam masyarakat, yang mana penyelenggaraan tersebut berkaitan erat dengan tingkat kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk melaksanakannya. Hal ini berarti bahwa institusi hukum berhubungan dengan perkembangan organisasi masyarakat tempat hidupnya. Lembaga sosial, dimana hukum juga termasuk sebagai lembaga sosial, perlu pelembagaan agar kaidah-kaidah hukum mudah dimengerti, ditaati, dihargai, terutama dalam proses kehidupan sehari-hari yang pada gilirannya masyarakat akan menjiwainya (internalized). Pelembagaan ini bertujuan agar fungsi sosial hukum (sebagai institusi sosial) dapat tercapai dan dapat digunakan sebagai sarana yang efektif. Dalam kaitannya pula sebagai lembaga social dan hukum memiliki fungsi :
1.      Memberikan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana cara bertingkah laku, atau  bersikap dalam menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan kebutuhan pokok;
2.      Menjaga keutuhan kehidupan masyarakat yang bersangkutan;
3.      Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan suatu sistem pengendalian sosial.(http//www.SetyoPamungkas.wordpress.com).

1.7. Pengendalian Sosial
            Pengendalian sosial dapat diartikan sebagai suatu proses yang direncanakan atau yang tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, membimbing, bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.

Pengendalian Sosial menurut para sosiolog:
a.   Peter L. Berger
Pengendalian sosial adalah berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang menyimpang.
b.   Bruce J. Cohen
Pengendalian sosial adalah cara-cara atau metode yang digunakan untuk mendorong seseorang agar berperilaku selaras dengan kehendak kelompok atau masyarakat luas tertentu.
c.   Joseph S. Roucek
Pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses pengawasan yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan mengajak, mendidik, atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi norma dan nilai yang berlaku.

1.8. Ciri-ciri dan Tujuan Pengendalian Sosial
 a. Ciri-Ciri Pengendalian Sosial
Ciri-ciri yang terdapat dalam pengendalian sosial, di antaranya adalah sebagai berikut.
1)   Suatu cara atau metode tertentu terhadap masyarakat.
2)   Bertujuan mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan yang terus terjadi di dalam suatu masyarakat.
3)   Dapat dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainnya atau oleh suatu kelompok terhadap individu.
4)   Dilakukan secara timbal balik meskipun terkadang tidak disadari oleh kedua belah pihak.
b. Tujuan Pengendalian Sosial pengendalian sosial
Dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)   Tujuan eksploratif, karena dimotivasikan oleh kepentingan diri, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2)   Tujuan regulatif, dilandaskan pada kebiasaan atau Adat Istiadat.
3)   Tujuan kreatif atau konstruktif, diarahkan pada perubahan sosial yang dianggap bermanfaat.

1.9. Jenis Pengendalian Sosial
a. Menurut Sifat dan Tujuan
1)   Pengendalian Preventif
Antisipasi terjadinya penyimpangan terhadap norma dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Guna menghindari kemungkinan terjadinya tindakan penyimpangan.
2)   Pengendalian Represif
Merupakan usaha untuk mengembalikan keserasian, keteraturan, dan keharmonisan yang terganggu akibat adanya pelanggaran norma atau perilaku menyimpang.
3)   Pengendalian Gabungan,
Merupakan usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan (preventif) sekaligus mengembalikan penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma sosial (represif). Dimaksudkan agar suatu perilaku tidak sampai menyimpang dari norma.
b. Menurut Resmi dan Tidak Resmi
1)   Pengendalian Resmi
Adalah pengawasan yang didasarkan atas penugasan oleh badan-badan resmi.
2)   Pengendalian tidak Resmi
Dikatakan tidak resmi karena peraturan itu sendiri tidak dirumuskan dengan jelas dan tidak ditemukan dalam hukum tertulis, tetapi hanya diingatkan oleh warga masyarakat.
c. Menurut Siapa yang Melakukan Pengendalian
1)   Pengendalian Institusional
Adalah pengaruh yang datang dari suatu pola kebudayaan yang dimiliki lembaga (institusi) tertentu. Pola-pola kelakuan dan kaidah-kaidah lembaga itu tidak saja mengontrol anggota lembaga, tetapi juga warga masyarakat yang berada di luar lembaga itu.
2)   Pengendalian Berpribadi
Adalah pengaruh baik atau buruk yang datang dari orang tertentu. Artinya, tokoh yang berpengaruh itu dapat dikenal.

1.10. Cara Pengendalian Sosial
Proses pengendalian sosial dalam masyarakat agar dapat berjalan dengan lancar, efektif, dan mencapai tujuan yang diinginkan diperlukan empat cara pengendalian sosial, yaitu :
a. Pengendalian Tanpa Kekerasan (Persuasif)
Pengendalian ini dilakukan terhadap suatu masyarakat yang relatif hidup dalam keadaan tenteram. Sebagian besar nilai dan norma telah melembaga dan mendarah daging dalam diri warga masyarakat.
b. Pengendalian dengan Kekerasan (Koersi)
Pengendalian ini dilakukan bagi masyarakat yang kurang tenteram atau apabila cara pengendalian tanpa kekerasan tidak berhasil.
Jenis pengendalian dengan kekerasan ini ada dua, yaitu kompulsi dan pervasi.
1)   Kompulsi (compulsion)
Adalah situasi yang diciptakan sedemikian rupa sehingga seseorang terpaksa taat atau mengubah sifatnya dan menghasilkan kepatuhan yang tidak langsung.
2)   Pervasi (pervasion)
Adalah penanaman norma-norma yang ada secara berulang-ulang dan terus-menerus dengan harapan bahwa hal tersebut dapat meresap ke dalam kesadaran seseorang.
c. Pengendalian Formal
Pengendalian secara formal dapat dilakukan melalui hukuman fisik, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan :
1)   Hukuman Fisik
Model pengendalian dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi yang diakui oleh semua lapisan masyarakat, seperti kepolisian, sekolah, dan yang lainnya..
2)   Lembaga Pendidikan
Pengendalian sosial melalui lembaga pendidikan formal, nonformal, maupun informal mengarahkan perilaku seseorang agar sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
3)   Lembaga Keagamaan
Setiap agama mengajarkan hal-hal yang baik kepada para penganutnya. Pemeluk agama yang taat pada ajaran agamanya akan senantiasa menjadikan ajaran itu sebagai pegangan dan pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku, serta berusaha mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
d. Pengendalian Informal
Pengendalian sosial secara tidak resmi (informal) dapat dilakukan melalui desas-desus, pengucilan, celaan, dan ejekan sebagai berikut:
1)   Desas-desus (gosip)
2)   Pengucilan
3)   Celaan
4)   Ejekan

1.11. Fungsi Pengendalian Sosial
            Koentjaraningrat mengidentifikasikan fungsi pengendalian sosial sebagai berikut.
a. Mempertebal Keyakinan Masyarakat tentang Kebaikan Norma
Untuk mempertebal keyakinan ini dapat ditempuh melalui pendidikan di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun sekolah. Pendidikan di lingkungan keluarga merupakan cara yang paling pokok untuk meletakkan dasar keyakinan akan norma pada diri anak sejak dini. Selanjutnya, lingkungan sosialisasinya juga semakin luas, sehingga masyarakat dan sekolah juga turut berperan dalam mempertebal keyakinan terhadap norma-norma.
b. Memberikan Imbalan kepada Warga yang Menaati Norma
            Pemberian imbalan ini bertujuan untuk menumbuhkan semangat dalam diri orang-orang yang berbuat baik agar mereka tetap melakukan perbuatan yang baik dan menjadi contoh bagi warga lain. Imbalan ini dapat berupa pujian, penghormatan atau barang.
c. Mengembangkan Rasa Malu
            Dapat dipastikan bahwa setiap orang mempunyai ‘rasa malu’. Terutama apabila telah melakukan kesalahan dengan melanggar norma sosial. Masyarakat yang secara agresif mencela setiap perbuatan yang menyimpang dari norma-norma dengan melemparkan gosip dan gunjingan akan memengaruhi jiwa seseorang yang melakukan penyimpangan tersebut.
d. Mengembangkan Rasa Takut
            Rasa takut mengakibatkan seseorang menghindarkan diri dari suatu perbuatan yang dinilai mengandung risiko. Rasa takut biasanya muncul dalam diri seseorang karena adanya ‘ancaman’.
e. Menciptakan Sistem Hukum
            Setiap negara memiliki sistem hukum yang berisi perintah dan larangan yang dilengkapi dengan sanksi yang tegas. Hukum mengatur semua tindakan setiap warga masyarakatnya, agar tercipta ketertiban dan keamanan.     

1.12. Wilayatul Hisbah
Istilah Wilayah bermakna "wewenang" dan "kekuasaan" yang dimiliki oleh institusi pemerintahan untuk menegakkan jihad, keadilan, hudud, melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, serta menolong pihak yang teraniaya, semua ini merupakan keperluan agama yang terpenting. Sementara kata Hisbah bermakna pengawasan, pengiraan dan perhitungan. (Syarif  Hidayatullah. 2007)
Wilayatul Hisbah adalah Institusi yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang Syariat Islam dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar. Setiap petugas Wilayatul Hisbah disebut dengan Muhtasib. (http://id.acehinstitute.org/beberapa-catatan-tentang-wilayatul-hisbah)
Untuk Aceh, hirarki struktural Wilayatul Hisbah berada di bawah Dinas Syari’at Islam. Tugas utamanya adalah mengawasi pelaksanaan Syari’at Islam oleh masyarakat. Posisinya sebagai "jantung" dalam Dinas Syari’at Islam sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan Dinas ini menegakkan Syari’at. Untuk itu landasan hukum tersendiri yang jelas yang mengatur tugas dan wewenang institusi hisbah sangat diperlukan di samping tekad yang kuat dari petugas Wilayatul Hisbah menegakkan Syariat. (Furqoni 2007)    

1.13. Peran Wilayatul Hisbah
Dalam Peranan Wilayatul Hisbah juga terdapat beberapa unsure penting dalam pelaksanaan penegakan Syari’at Islam di antaranya sebagai berikut :
      1.   Tugas Pokok Wilayatul Hisbah yaitu :
a.   Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran peraturan perundang undangan di bidang Syari’at Islam
b.   Melakukan pembinaan dan advokasi spritual terhadap setiap orang yang berdasarkan bukti permulaan patut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam
c.   Pada saat tugas pembinaan mulai dilakukan Muhtasib (sebutan Wilayatul Hisbah) perlu memberitahukan hal itu kepada penyidik terdekat atau kepada keuchik/Kepala Gampong dan keluarga pelaku
d.   Melimpahkan perkara pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam kepada penyidik

2. Tugas yang berhubungan dengan pengawasan meliputi :
a.   Memberitahukan kepada masyarakat tentang adanya peraturan perundang- undangan di bidang Syari’at Islam
b.   Menemukan adanya perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan Syari’at      Islam
3. Tugas yang berhubungan dengan pembinaan meliputi :
a.   Menegur memperingatkan dan menasehati seseorang yang patut di duga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Syari’at Islam
b.   Berupaya untuk menghentikan kegiatan/perbuatan yang patut diduga telah melanggar peraturan perundangan di bidang Syari’at Islam
c.   Menyelesaikan perkara pelanggaran tersebut melalui rapat Adat Gampong
d.   Memberitahukan pihak terkait tentang adanya dugaan telah terjadi penyalah gunaan izin penggunaan suatu tempat atau sarana
2.   Wewenang Wilayatul Hisbah
Sesuai dengan keputusan Gubernur Nomor 01 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata kerja Wilayatul Hisbah berwenang dalam penanganan setiap pelanggaran dan pembinaan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, wewenang tersebut tertuang dalam pasal 5 keputusan tersebut yaitu :
a.               Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan dan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam
b.   Menegur, menasehati, mencegah dan melarang setiap orang yang patut diduga telah sedang atau akan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam

1.14. Fungsi Wilayatul Hisbah
Wilayatul Hisbah melalui muhtasib mempunyai fungsi utama yaitu: 
Menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Adapun dari tugas utama tersebut dapat dibagi lagi kepada tiga kategori , yakni:
a. Tugas yang berhubungan dengan Allah (hablum minAllah). Kategori pertama yang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran yang terkait dengan hak-hak Allah meliputi kegiatan keagamaan, salah satunya perintah untuk berjamaah dan tidak menyendiri.
b. Tugas yang berhubungan dengan manusia (Hablum minannas). Yaitu yang berhubungan dengan sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari. Seperti hubungan dalam bermuamalah atau transaksi jual beli
c. Ttugas yang berhubungan dengan keduanya baik Allah dan Manusia (hablum minAllah wa hablum minanas). Ialah yang terkait dengan hak bersama antara hak Allah dan hak-hak manusia.

1.15. Konsep Pemberian Sanksi Terhadap Pelanggaran Oleh Wilayatul Hisbah
Pelaksanaan dan pemberian sanksi terhadap pelaksanaan Syari’at Islam melalui proses jalan panjang, diawali dari proses pengindentifikasian pelanggaran baik dari laporan masyarakat, razia dan berbagai usaha lainnya, pemeriksaan jenis pelanggaran dan penyidikan guna pembuatan BAP untuk diserahkan kepada kejaksaan.
Setelah proses tersebut telah sempurna BAP diserahkan ke Mahkamah Syari’at untuk diproses di pengadilan. Penerapan dari sanksi tersebut berdasarkan keputusan dari pengadilan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) jenis pidana yang dikenal adalah :
(1)  Pidana pokok yang terdiri dari: pidana mati, pidana penjara, kurungan, dan      denda.
(2)  Pidana tambahan: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim.
Secara umum tujuan pemidanaan adalah memberikan efek jera bagi si pelaku dan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan hal serupa.
Dalam tiga qanun yang menjadi area studi ini, terdapat tiga jenis uqubat (hukuman) yaitu :
1.   Hukuman cambuk, dengan angka yang variatif sesuai dengan jenis pidananya.
2.   Kurungan.
3.   Denda.
      Berikut ini beberapa perbuatan pidana dan sanksinya yang terkait dengan prilaku menyimpang yang telah diatur sanksi-sanksinya.
Berdasarkan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 No.
Perbuatan Pidana/ Pelanggaran Hukum Syariat Islam
Sanksi/Hukumannya
1.
Pasal 21
(1). Tidak melaksanakan Shalat Jumat tiga kali berturut-turut tampa uzur syar’i
(3). Menyediakan fasilitas/peluang untuk tidak berpuasa bagi orang yang wajib berpuasa pada Ramadhan
Ta’zir
Penjara maksimal 6 (enam) bulan atau cambuk maksimal 3 (tiga) kali
Ta’zir
Penjara maksimal 1 (satu) tahun atau denda maksimal Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah) atau cambuk 6 (enam) kali dan dicabut izin usahannya
2
Pasal 22
Makan dan minum (oleh orang yang wajib berpuasa) di tempat umum/di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan
Ta’zir
Penajara maksimal 4 (empat) bulan atau Cambuk maksimal 2 (dua) kali
3
Pasal 23
Tidak berbusana Islami
Ta’zir
Mulai dengan hukuman yang paling ringan.
4.
Pasal 26
Mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya
Ta’zir
Cambuk 40 (empat puluh) kali
5.
Pasal 27
Memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan
Ta’zir
Kurungan maksimal 1 (satu) tahun, minimum 3 (tiga) bulan dan Atau denda maks Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah)
6.
Maisir (Perjudian)
Orang yang berjudi
Penyedia fasilitas, atau penyelenggara judi, pelindung atau pemberi izin berjudi

6 – 12 kali hukuman cambuk
Denda 15-35 juta
7.
Khlawat (Mesum)
Pelaku mesum

Penyedia fasilitas atau yang
melindungi orang yang khlawat

3 – 9 kali hukuman cambuk atau denda 2,5 – 10 juta
Kurungan 2 – 6 bulan atau denda 5 – 15 juta

            Teknis Pelaksanaan hukuman cambuk diantaranya menetapkan hal-hal sebagai berikut:
1.   Pelaksana eksekusi adalah jaksa
2.   Penyedia fasilitas dan persiapan dilakukan oleh Dinas Syari’at Islam
3.   Pencambukan dilakukan di tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri jaksa penuntut umum dan dokter yang ditunjuk
4.   Pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter 1cm, panjang 1m dan tidak mempunyai ujung ganda/ belah
5.   Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada, dan kemaluan.
6.   Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai
7.   Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain di atasnya
8.   Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 hari yang           bersangkutan melahirkan

1.16. Penegakkan Hukum Di Aceh
            Penegakan hukum atas Qanun-qanun di Aceh sudah dimulai sejak Juli 2004. Lahirnya Qanun-qanun ini telah mengubah anatomi penegak hukum yang selama ini dikenal. Penegakan hukum atas Qanun di Aceh ditempuh dengan dua pendekatan, yaitu :
(1)  Pendekatan persuasif
            Pendekatan persuasif dilakukan dengan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah. Wilayatul Hisbah adalah organ penegak hukum yang mewakili pemerintah dalam melakukan pengawasan penegakan Qanun.
(2)  Pendekatan represif (penindakan tegas dan melalui proses peradilan).
      Tahapan yang dilalui yaitu Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan di Pengadilan dan Pelaksanaan Putusan
Badan-badan penegak hukum di Aceh yaitu terdiri dari :
1. Mahkamah Syar’iyah (MS)
            Mahkamah Syar’iyah di Aceh fungsinya sama seperti pengadilan agama, yang memiliki kompetensi absolut mengadili perkara-perkara nikah, talak, cerai, wakaf, dan infak selain itu Mahkamah Syar’iyah juga mengadili tiga Qanun (maisir, khamar, dan khlawath) yang saat ini sudah resmi diberlakukan di Aceh.
2. Wilayatul Hisbah (WH)
            Adalah suatu Institusi yang bertugas membina, mengawasi dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan amar makruf nahi mungkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah pada perbuatan munkar. Wilayatul Hisbah memiliki hak hukum untuk mengajukan gugatan praperadilan ke Mahkamah Syar’iyah, jika laporan-laporannya tidak ditindaklanjuti oleh penyidik.
3. Dinas Syari’at Islam (DSI)
            Merupakan organ eksekutif yang mewakili pemerintah dalam upaya penegakan Syari’at Islam. Gambaran tugas dan fungsi lembaga-lembaga penegak hukum di atas, menunjukkan tidak ada perbedaan prinsip antara tugas dan fungsi lembaga-lembaga di Aceh dengan lembaga hukum di wilayah hukum selain Aceh. Perbedaannya terletak pada:
a.   Mahkamah Syar’iyah yang memiliki wewenang berbeda dari pengadilan Agama lainnya.
      b.   Adanya Wilayatul Hisbah yang dalam konstruksi tugasnya sama dengan tugas kepolisian, hanya saja Wilayatul Hisbah tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan.
      c.   Tugas yang sama antara polisi dan Wilayatul Hisbah adalah mengawasi dan mencegah terjadinya tindak pidana.
      d.   Adanya Dinas Syari’at Islam (DSI), sebagai organ eksekutif yang bersama kejaksaan bertugas menyediakan berbagai infrastruktur bagi penegakan Syari’at Islam dan proses eksekusi atas sebuah putusan.     

1.17. Definisi Konsep
            Definisi konsep dalam penelitian sangat diperlukan agar tidak menimbulkan kesalah pahaman, sehubungan dengan itu, maka batasan-batasan konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah :
a.   Peran adalah : suatu yang menjadi bagian atau yang memegang pimpinan utama terhadap suatu hal atau peristiwa. (Ahmad Maulana, 2008).
      Peran yang penulis maksud adalah tugas dan tanggung jawab Wilayatul Hisbah.
b.   fungsi adalah : suatu lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang Syariat Islam dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar (Perda, 2006 : 179).
c.   Kapasitas adalah : ukuran kemampuan untuk menerima dan melakukan sesuatu. (Ahmad Maulana, 2008)
      Kapasitas yang dimaksudkan disini adalah seberapa besar kemampuan Wilayatul Hisbah dilihat dari fasilitas, mental, pendidikan dan perananan masyarakat dalam menegakkan Syariat Islam di Desa Rimo.         
d.   Wilayatul Hisbah yaitu daerah atau areal kekuasaan, sedangkan Hisbah bermakna menghitung/mengira berasal dari bahasa Arab sedangkan secara singkat adalah wewenang untuk menjalankan amar ma’ruf jika orang melalaikan, dan nahi mungkar/mencegah jika ada orang yang mengerjakannya.
e.   Syari’at Islam adalah : Aturan-aturan berupa perintah dan larangan yang diturunkan Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta (Rosyadi, 2006).
f.    Qanun adalah : peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi khusus yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti azas lex specialis derogat lex generalis.
h.   Dinas Syari’at Islam : perangkat daerah sebagai suatu unsur pelaksana syari’at islam di lingkungan pemerintah Daerah Istimewa Aceh yang berada di bawah Bupati.






BAB II
METODE PENELITIAN

2.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, tingkah laku yang di dapat dari apa yang diamati (Nawawi, 1994:203). Berkenaan dengan penelitian ini, sebagai studi eksploratif maka penelitian ini bersifat penjelajahan, tanpa ada prasangka yang bertujuan untuk mengungkapkan hal-hal yang baru muncul dimasyarakat. Biasanya bersifat terbuka, untuk mengamati gejala yang sedang terjadi, atau gejala yang terjadi dimasa lalu. (Bagong, 2008). Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian eksploratif, dapat dikembangkan berbagai penelitian lain, seperti penelitian historis, deskriptif, kerelasional dan eksperimen. Karena itu, penelitian eksploratif sering disebut penelitian pendahuluan.

2.2. Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian ini berlokasi di Desa Rimo berada di Kecamatan Gunung Meriah, kabupaten Aceh Singkil.
Adaun yang melandasi pemilihan tenpat ini adalah sebagai berikut :
-          Desa Rimo merupakan sentra pemerintahan kecamatan Gunung Meriah.
-          Desa Rimo merupakan pusat wilayah kerja Wilayatul Hisbah Gampong, yang didasarkan atas desa terpadat akan penduduk serta menjadi pusat atau sentra dari kecamatan Gunung Meriah.
-          Tingkat atau angka pelanggaran memiliki kapasitas yang cukup tinggi dibanding desa lainnya. Hal ini dapat dilihat dari catatan atau data Wilayatul Hisbah yang mencapai  angka 2800 pelanggaran tiap tahunnya serta dilakukannya razia sebanyak 6 kali setiap sekali seminggu, dimana umumnya rata-rata kegiatan razia dilakukan sebanyak 5 kali dalam 1 minggu untuk desa lainnya (berdasarkan catatan Wilayatul Hisbah tahun 2009).
-          Peneliti memilki kedekatan interaksi yang cukup tinggi dengan masyarakat setempat, hal ini tentunya akan memberikan akses yang baik serta kemudahan dalam proses penelitian kedepan.

2.3. Unit Analisa Data
Unit analisa adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 1999:132). Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah:
a.   Informan Kunci
            Informan kunci yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mereka yang aktif dan terlibat secara langsung terkait dengan peran dan fungsi Wilayatul Hisbah. Mendapatkan data dan informasi yang akurat serta valid adalah guna utama didalam penyertaan informan kunci dalam proses penelitian ini.  Adapun Kriteria yang dikenakan atau diberlakukan sebagai informan kunci adalah sebagai berikut :
1.      Pimpinan Institusi Wilayatul Hisbah yang masih aktif
2.      Pimpinan serta pengurus Wilayatul Hisbah yang non-aktif
3.      Jajaran pengurus/petugas Wilayatul Hisbah yang telah bertugas minimal 1 tahun.
4.      Tokoh masyarakat yang terlibat dan aktif seputar kegiatan penegakan Syari’at Islam dan Wilayatul Hisbah.           
b. Informan Biasa
            Informan biasa dalam penelitian ini adalah warga biasa atau penduduk asli yang telah menetap selama dua tahun. Informasi yang ingin diperoleh dari informan ini adalah berupa tanggapan, respon terhadap kinerja Wilayatul Hisbah dalam konteks peran dan fungsi Wilayatul Hisbah dalam menegakkan Syari’at Islam serta memperkaya data yang hendak diperoleh oleh peneliti.

2.4. Teknik Pengumpulan Data
            Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan, dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode tertentu untuk memperoleh informasi yang sesuai dengan kebutuhan penelitan. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada 2 jenis, yaitu data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
      Data primer diperoleh melalui :
a.   Observasi, merupakan pengamatan menyeluruh terhadap gejala-gejala sosial yang terlihat di lapangan. Dimana peneliti melakukan observasi langsung terhadap Peran dan Fungsi Wilayatul Hisbah dalam dalam menegakkan syari’at islam di Desa Rimo kecamatan Gunung Meriah kabupaten Aceh Singkil.
b.   Wawancara mendalam, yakni melakukan suatu pecakapan atau Tanya jawab secara mendalam dengan informan. Disini peneliti akan berusaha menggali informasi sebanyak-banyaknya dari informan dan dipandu oleh pedoman wawancara (depth interview). Hal-hal yang ingin diwawancari adalah berupa informasi tentang Kapasitas Peran dan Fungsi Wilayatul Hisbah dalam dalam menegakkan Syari’at Islam di Desa Rimo, kecamatan Gunung Meriah, kabupaten Aceh Singkil.
c.   Focus Group Discussion (FGD), yakni melakukan sistematika Tanya jawab berkelompok. Dalam konteks ini akan dilakukan dua tahapan FGD dimana tahap pertama mengikutsertakan pimpinan, pengurus Wilayatul Hisbah dan tokoh masyarakat. Pada tahapan kedua ini hanya diikuti oleh masyarakat atau penduduk asli.
2. Data Sekunder
            Data Sekunder, diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu data dan informaasi yang diperoleh dari studi kepustakaan, hasil penelitian sebelumnya, jurnal-jurnal ilmiah, artikel, dokumen dan tulisan-tulisan yang menunjang dan berhubungan dengan penelitian ini.

2.5. Interpretasi Data
            Bogdan dan Biklen (Maleong, 2006:248) menjelaskan analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskan, membuat ikhtisarnya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dipelajari, dan memutuskan apa yang dicarikan kepada orang lain.  
            Data-data yang diperileh dari lapangan akan diatur, diurutkan, dikelompokkan ke dalam kategori, pola atau uraian tertentu. Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu pengamatan dan wawancara mendalam, yang sudah dituliskan dilapangan. Data tersebut setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.
            Langkah selanjutnya adalah menyusun data-data dalam satuan-satuan. Satuan-satuan ini kemudian dikategorisasikan. Berbagai kategori tersebut dilihat kaitanya satu dengan yang lain dan diinterpretasikan secara kualitatif.

2.6. Jadwal Kegiatan
Tabel 1
No
Kegiatan
Bulan ke
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
Pra Obsrvasi








2
ACC Judul








3
Penyusunan Proposal Penelitian







4
Seminar Proposal Penelitian








5
Revisi Proposal Penelitian








6
Penelitian Kelapangan






7
Pengumpulan Data dan Analisis Data






8
Bimbingan








9
Penulisan Laporan Akhir








10
Sidang Meja Hijau










Tidak ada komentar:

Posting Komentar