Entri Populer

Kamis, 17 Maret 2011

tugas pembangunan


MASALAH PEMBANGUNAN INDONESIA

            Masalah pembangunan Indonesia sesungguhnya harus dibagi dua bagian besar yaitu:
1. Masalah obyek pembangunan
2. Subjek yang akan membangun kondisi lingkungannya.
            Sering kali dianggap tak relevan atau malah melupakan bahwa banyak negara terbelakang atau sedang berkembang justru mengalami hambatan pembangunan dari bidang sospol ini. Contoh yang paling jelas adalah negara-negara komunis. Karena ideologi komunis maka pembangunan negara dan masyarakatnya jauh ketinggalan. Masalah ras dan agama juga banyak menghambat atau menghancurkan hasil pembangunan misalnya negara-negara timur tengah, Irak-Iran, India, Srilangka dan lain lain. Indonesia juga pernah mengalami hambatan sospol pada jaman orde lama dengan kebijaksanaan mercu Suar dan diakhiri dengan pemberontakan PKI. Dan masalah sospol ini bukan hanya menghambat pembangunan tetapi juga merusak lingkungan hidup, contohnya terjadinya wabah kelaparan di Afrika (karena penguasa dan masyarakatnya sibuk bermain politik), kerusakan hutan tropis, erosi dan banjir karena perbaikan lingkungan tidak mendapat perhatian pemerintah.
            Antara obyek dan subyek pembangunan tentunya tidak boleh dipisahkan. Sedang masalah obyek pembangunan di Indonesia bisa dibagi tiga yaitu:
I.A. masalah ketinggalan pembangunan umumnya dengan dunia modern
I.B. masalah pertumbuhan Pulau Jawa
I.C. jurang pembangunan antara luar Jawa dan Jawa








I.A.
MASALAH KETINGGALAN PEMBANGUNAN

            Secara ekonomi negara-negara di dunia dapat dibagi menjadi negara maju, berkembang, dan terbelakang. Sebutan itu muncul dari perhiyungan-perhitungan ekonomis, yang merupakan hasil suatu usaha atau karya pembangunan dalam berbagai bidang. Maka bidang-bidang usaha yang sat ini banyak mengambil peranan dalam mengangkat suatu negara menjadi negara maju sekarang maupun di kemudian hari antara lain:

1.      Internasionalisasi ala Jepang
            Biasanya disebut ekonomi global, namun penulis lebih suka memusatkan diri pada istilah ”internasionalisasi pasar”, sebab ini adalah bibit bentuk ekonomi global. Yang dimaksud internasionalisasi pasar adalah pemerintah bersama kalangan pengusahanya berusaha supaya titik berat usaha industri atau pertanian atau perdagangan mengarah pada kerja keras untuk bisa menguasai pasar internasional untuk suatu jenis produk yang disasarkan. Jadi bukan sekedar bisa ekspor saja. Kerja keras merintis internasionalisasi pasar ini memang akan mendorong adanya usaha patungan dengan pengusaha asing, dalam berbagai bidang.
            Selanjutnya muncul macam-macam kerja sama antar pemerintah untuk memperlancar usaha-usaha internasionalisasi pasar itu. Pengusaha industri mobil Jepang tidak hanya membangun usaha patungan dengan pengusaha Indonesia, tetapi juga dengan pengusaha-pengusaha negara lain di seluruh dunia, demikian juga dalam dunia pertambangan, dan industri migas, pariwisata,  industri elektronik, perdagangan, perbankan dan lain-lain. Maka muncullah istilah ekonomi global itu.
            Masalahnya dimanakah Indonesia berada, sebagai pelaku usaha internasionalisasi pasar atau sebagai objek macam-macam usaha menguasai pasar Indonesia dari produk asing langsung atau patungan dengan pengusaha Indonesia. Ini akan memberikan petunjuk kepada kita apakah kita ikut menjadi subyek atau sekedar pelengkap atau malah hanya sebagai ”pelengkap penderita” dalam sistem internasionalisasi pasar itu.
            Misalnya sudah adakah pengusaha Indonesia yang membuka industri mebel rotan di Amerika? Mana yang lebih menguntungkan membangun industri mebel rotan di Amerika oleh pengusaha Indonesia atau ekspor langsung mebel rotan dari Indonesia? Tegasnya apa untung bisa memadai secara kontiniu? Atau keuntungan terbesar tetap pada pedagang importir di AS, karena mereka bisa menekan harga jual di Indonesia? Kalau demikian, maka usaha itu bisa dibilang usaha ekspor-diperbudak saja. Akibat hal ini bisa fatal, Industri mebel rotan di tanah air akan bangkrut karena kekurangan bahan baku dan kalah saing di pasaran As dan lain-lain. Oleh karena itu peraturan dan sistem pengawasannya harus baik dan disiapkan jauh lebih awal.
            Kalau sistem ekspor-diperbudak dikembangkan di negar-negara lain, maka bukan internasionalisasi pasar yang diperoleh tetapi internasionalisasi ekspor-diperbudak.
Inilah salah satu ciri dunia usaha ekonomi global yang harus diwaspadai Indonesia dalam usaha memasuki sistem internasionalisasi pasar jangan sampai terjerumus pada kelatahan. Yang penting bukan banyaknya ekspor namun bagaimana keuntungan yang diperoleh dibandingkan dengan pihak asing.
            Jepang adalah pelopor dalam sistem internasionalisasi pasar. Ini merupakan strategi luar biasa Jepang setelah kekalahan totalnya di PD II. Setelah kalah, Jepang tidak boleh lagi membangun angkatan perangnya, terpakasa Jepang menyusun strategi baru dengan mengembangkan konsep internasionalisasi pasar, yaitu berusaha agar macam-macam produksi Jepang bisa menguasai pasar di seluruh dunia. Jepang tidak bisa memainkan sistem penjualan bahan bakunya seperti di Indonesia yang melarang ekspor rotan mentah atau kayu gelondongan, karena memang Jepang miskin bahan mentah. Oleh karena itu Jepang harus bekerja keras untuk mematangkan konsep internasionalisasi pasar. Ternyata konsep ini berhasil sehingga kekuasaan dan keuntungan Jepang dari penguasaan pasar dunia ini melebihi keuntungan, kekuasaan maupun keluasaan daerah jajahan dari rencana kekaisaran ASIA TIMUR RAYA sebelum 1945.

2.   Ekonomi Global
            Dengan semakin meningkatnya intensitas kerja sama antar pengusaha Jepang dengan pengusaha negara lain, kemudian kerjasama antarnegara, kemudian diikuti negara lain untuk meniru konsep-konsep Jepang dan akhirnya terjadi silang belajar dan kerjasama banyak negara dalam bermacam-macam bidang, maka lahirlah apa yang disebut ”ekonomi global”.
Yang terjadi bukan hanya ekonomi global tetapi munculnya kesadaran yang semakin besar bahwa dunia ini harus dikelola secara bersama kalau ingin memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan.
            Pengalaman internasionalisasi pasar Jepang tampaknya akan menjadi landasan membangun perdamaian dunia baru, disamping dunia harus berjuang memperluas wawasan para pemimpin negara dunia ketiga.

3.   Industri dan Teknologi
            Secara khusus teknologi elektronik memasuki bidang industri dengan meluasnya penggunaan robot dan komputer dalam industri. Di negara-negara yang mulai menerapkan sistem robot itu, jenis pekerjaan yang tidak bisa diganti robot harganya menjadi tinggi, alias gaji buruh menjadi mahal. Akibatnya muncul arys memindahkan pabrik ke negara-negara yang tenaga manusanya lebih murah. Inilah peluang baru bagi negara-negara terbelakang dan sedang berkembang, perlu menyusun strategi secara tepat dalam  internasionalisasi pasar tersebut, sehingga tidak terjerumus pada situasi latah atau internasionalisasi pasar-diperbudak.

4.   Pertanian
            Sumbangan pembaruan bidang pertanian terbesar adalah bidang biotejnologi (biotek). Dengan biotek orang bisa memperbaiki kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara yang tersedia, jadi bukan makananya yang diperbanyak namun daya isap unsur haranya yang diperbesar.
            Teknologi biotek Indonesia saat ini masih ketinggalan dan tamaknya akan terpaksa mengimpor dari luar negeri supaya tidak ketinggalan dengan negara produsen pertanian lainnya.
Sementara itu masalah-masalah pertanian tradisional bahkan primitif masih dihadapi di Indonesia misalnya : baru sebagaian kecil areal pertanian dijamin pengairannya, teknologi pertanian belum dikuasai banyak petani Indonesia (khususnya di luar Jawa), sebagian besar penduduk tinggal di pedesaan hidup tergantung di bidang pertanian. Namun kedudukan pasar produk pertani masih sangat lemah, sehingga keuntungan sangat minim bila dibandingkan dengan laju kenaikan barang industri. Karena sebagian besar penduduk hidup di bidang pertanian yang kurang menguntungkan , maka jelas ada masalah besar dalam bidang sosial-ekonomi antara lain meningkatnya urbanisasi, keterlambatan pembangunan pertanian, dan lain-lain.
            Perbandingan antara persentase Kenaikan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) dengan perentase kenaikan pendapatan bersih petani tidak seimbang. Ini menunjukkan adanya tekanan di kalangan petani. Sehingga mereka tidak bisa menaikkan harga produksinya sesuai dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan hidup. Dengan kata lai terjadi ”proses pemiskinan”.
Industri pertanian juga akan mengalami kemajuan pesat dengan kemajuan dalam bidangbiotek dan internasionalisasi pasar. Produk dengan kualitas dan kuantitas unggul dan tak tercemar bahan kimia akan semakin dituntut untuk memasok pada industri–industri pengolahannya.
            Produk internasional seperti tempe akan memasuki era industri dan pasaran dunia karena keunggulan gizi dan kecilnya efek sampingan terhadap bahan sehingga bisa menjadi pengganti daging.
            Pertanian hakekatnya tidak didesak oleh industri haya berubah menjadi industri. Pertanian di masa depan yang tidal\k menggunakan cangkul dan bajak, tetapi akan menggunakan laboratorium mesin pengolah tanah, rumah tanaman/kaca/plastik, rak–rak pembenihan, enzim biotek, dan lain–lain dengan kapasitas produksi perhektar lebih besar dengan keadaan saat ini. Bagi sebagian besar pertanian Indonesia hal tersebt belum bisa dibayangkan, karena saat ini masih menggumuli cara–cara kuno dalanm menanam dan menuai.

5.   Komunikasi dan Transportasi
            Banyak produk kmajuan industri komunikasi sudah dipasarkan di Indonesia. Namun karena banyak ketinggalan dalam pengolahan manusainya, maka alat – alat modern itu belum berfungsi sebagai alat modern sepenuhnya. Peranan komunikasi dalam meningkatkan pembangunan sangat besar, khususnya oleh adanya listrik masuk desa, antena parabola, program–program kelompok pendengar radio dan kelompok permirsa TV, lengkap dengan macam– macam lombanya dan lain–lain.
            Disamping manfaat yang besar, alat kamunikasi juga mengkomunikasikan macam–macam “jurang” pemabangunan yaitu macam– macam perbedaan pembangunan, kebelum merataan hasi pembangunan, gemerlap pembangunan di sisi kesuraman yang belum terjamah, dan lain–lain. Seingga potensi munculnya masalah sosial-politik menjadi tinggi atau meuncul arus perpindahan penduduk dari yang kurang maju kedaerah yang maju, juga akan semakin besar (urbanisasi dan imigrasi dari luar Jawa ke Jawa). Ini juga berarti masalah rawan lainnya.
            Keinggalan dalam mengkomunikasikan masalah–masalah pembangunan sekarang dan nanti itulah yang akan menjadi masalah. Jadi terapi untuk mengulangi “ketinggalan dalam bidang komunikasi” bukan sekedar mendatangkan peralatan modern komunikasi, namun harus diperhitungkan perbaikan sistem pendidikan umum, kesiapan manusia pemakainya, pengaruh negatif yang muncul, dan apa sarannya.
            Ketinggalan lain dalam bidang transportasi. Pembangunannya disamping terbentur dana juga banyak hambat oleh tipisnya penduduk. Pengusaha angkutan umum juga khawatir tidak bisa memperoleh keuntungan karena tipisnya penumpang. Indonesia justru paling ketinggalan dalam hal perkereta–apian ini. Kebijaksanaan pemerintah hanya sekedar memelihara peninggalan zaman kolonial saja, alias tidak punya gambaran bahwa kereta api mempunyai prospek yang sangat penting dan menguntungkan dalam pembangunan nasional.

6.   Angkutan Laut
            Angkutan laut Indonesia merupakan fenomena paling aneh di dunia ini. Indonesia adalah negara kepulauan denggan 13.667 pulau. Namun sekarang ini masalah pelayaran antar pulau maupun samudra tidak habis – habisnya dan yang luar biasa : terkenal paling tidak efesien dan mahal. Bila diukur dengan kemajuan pelayaran dunia maka indonesia akan semakin ketinggalan. Bahwa laut disekitar Indonesia menjadi ajang pencurian ikan nelayan asing itu sudah menunjukkan keterbelakangan usaha perikanan indonesia sendiri.
            Pola pembangunan untuk mencapai swasembada dalam macam-macam kebutuhan propinsi seperti swasembada pangan, sandang, bahan bangunan, alat rumah tangga, alat angkutan, dan lain-lain tampaknya malah justru tidak mendukung kebijaksanaan pembangunan nasional. Sebab ini menjurus pada tercapainya ta¬raf hidup sendiri-sendiri, jadi tidak perlu ada ketergantungan de¬ngan propinsi lain yang antara lain berbentuk perdagangan antar¬pulau. Akibatnya hubungan antarpulau sangat sempit, alias ka¬langan pengusaha pelayaran niaga mengalami kesulitan hidup ka¬rma arus perdagangannya sekadar untuk melengkapi kebutuhan daerah tertentu. Yang kalau semua sudah serba swasembada maka matilah usaha pelayaran niaga ini.
Bidang–bidang ketinggalan dengan kemajuan dunia umumnya sebenarnya masih banyak, tidak mungkin dibahas satu per satu dalam buku ini. Penulisa hanya mencukil sedikit, yaitu yag dianggap akan banyak pengaruh dalam menggeraknan pembangunan indonesia.

I.B.
MASALAH  KHUSUS P. JAWA DAN PERANANNYA

            Indonesia tidak bisa begitu saja meniru pola pembangunan negara-negara naga, seperti: Jepang, sebab situasi dan kondisi ke¬pendudukan, tanah, sumber alam, sejarah, budaya, pendidikan, dan teknologi Berta pemerintahan mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Bagi Indonesia melaksanakan pembangunan nasional adalah masalah yang sangat komplek sebab jumlah pulaunya saja sudah 13.667 pulau dan tersebar pada areal seluas 10.000.000 km2 (hampir seluas Eropa)
            Bagian – bagian pembangunan negara lain yang bisa kita contoh. Paling sedikit bisa kita jadikan sumber ide untuk merencanakan pembangunan Indonesia. Mempelajari sistem pembangunan negara lainperlu, tapi jauh lebih perlu dan bermanfaat mempelajari sikon dan masalah pembangunan negara dan bangsa sendiri.
1.   Perbedaan Besar
            Bangsa indonesia harus berusaha mengenal ciri – ciri tanah air dan bangsanya, untuk merencanakan pembangunannya. Salah satu ciri yang sangat mencolok dan perlu diperhitungkan dengan cermat adalah adanya perbedaan besar situasi dan kondisi pembangunan dan kependudukan P. Jawa dengan pulau luar Jawa.
            Perbedaan itu muncul oleh anjangnya proses pertumbuhan, perubahan, dan pembangunan sejak ratusan tahun yang lalu maupun Orde baru. Namun jugaharus dilihat bgaimana usaha penduduk P. Jawa (termasuk para perantauan yang bekerja di Jawa membangun semua. Memamg gemerlap itu merupakan hasil jerih payah mereka selama ini.)

2.   Kepadatan Penduduk
            Salah satu faktor penting yang menyebabkan pembangunan di Jawa meroket adalah penduduk P. Jawa. yang sangat padat-. Tahun 1989 diproyeksitan       akan mencapai 3 jiwa/km2, sedang Sumatera hanya akan mencapai 78 jiwa7km2, Kalimantan lebih rendah lagi hanya 16 jiwa/km2, Sulawesi 66 jiwa/Km2, Nusa tengggara 115 jiwa/km2 sedang Maluku dan Irian Jaya hanya 7 jiwa/Km2. ini semua berarti bahwa kalau seandainya proyek Impian Jaya Ancol dan Dunia Fantasi dibangun di Medan, tidak di Jakarta, maka dalam jangka setahun - dua tahun usaha ini akan bubar karena rugi. Hal yang sama juga akan terjadi bila Grup Astra membangun pabrik-pabrik mobil dan motornya di Balikpapan Kalimantan Ti¬mur. Pabrik-pabrik ini akan menghadapi kesulitan pemasaran.
            Kondisi ini menyebabkan berduyun – duyun pengusaha membangun pabrik di jawa. Maklum di jawa mengimpul 60% penduduk Indonesia padahal ghanya menempati areal kurang 7% dari luas daratan indonesia. Ini berarti mencari tambahan modal, gampang perizinannya, gampang prasarana pendukungnya.

3.   Pendapatan Daerah
            Lebih jauh lagi, pendapatan daerah ternyata juga bersumber pada jumlah penduduk, sebab memang hanya orang/penduduk yang bisa diminta membayar pajak, iuran, pungutan, sumbangan,uang administrasi, uang transpor, dan lain -lain. Semakin padat  penduduknya semakin banyak orang yang harus membayar pajak, iuran, dan lain – lain. Itu semua berarti bahwa untuk P. Jawa yang kepadatan penduduknya 81 jiwa/km2 hakekatnya merupakan sumber pendapatan pemda yang-melimpah dan juga daya tarik yang sangat kuat bagi para penanam modal, usaha perdagang¬an, jasa, pendidikan bahkan juga pedagang kaki lima dan asong¬an. Maka kalau kepadatan penduduk P. Jawa tidak dikurangi, akan tetap menumpuk pula penanaman modal, pembangunan fasilitas pendidikan dan usaha, pembukaan lapangan kerja alias total jendral pembangunan di Jawa. Semakin besar pertambahan jumlah pen¬duduk semakin besar daya sedot penanaman modalnya.
            Jadi kalau pulau Jawa dibiarkan meningkatkan jumlah penduduknya sedang propinsi-propinsi di luar Jawa ma¬lah berusaha menutup pintu bagi orang pindahan dari Jawa de¬ngan macam-macam alasan dan kekhawatiran tersebut, maka pem¬bangunan P. Jawa akan semakin meroket karena pendapatan daerahnya juga akan meroket. Ini berarti daerah luar Jawa akan semakin ketinggalan dalam mengumpulkan pendapatan daerah untuk membangun. Salah satu cara yang paling efektif dalam mengerem pemba¬ngunan di Jawa dan meningkatkan pembangunan di luar Jawa ha¬nyalah dengan menyedot sebanyak mungkin penduduk P. Jawa untuk dipindahkan ke propinsi-propinsi luar Jawa.

4.   Masalah Pergeseran Budaya
            Pergeseran itu bisa melalui alat kmunikasi seperti mass media cetak, TV, radio, Vidio, Film, Turis, Mimbar – mimbar pertemuan / seminar, dan juga oleh putra daerah yang pulang kampung.
            Perubahan budaya itu wajar di sepanjang segala abad, dan bahkan itulah pertanda kemajuan. Masalahnya adalah masyarakat/ sekelompok masyarakat setempat khawatir kalau  kelestarian budaya yang dianggap tinggi nilainya dirusak oleh adanya komunikasi dengan pendatang baru itu. Namn sangat tergantng dari kemandirian, jati diri dan tingginya nilai – nilai yang dikandungnya. Itulah sebabnya rakyat bali tidak takut kebanjiran turis.
            Peran atau pergeskan antar budaya di seluruh pelosok bumi memang selalu terjadi. Dalam pern ini maka suatu budaya kelompok etnis akan lestari bila dia manusiawi dan dinilai tinggi oleh manusia – manusia yang menemuinya. Hanya inilah benteng kelestarian suatu budaya.
            Lebih sempit lagi, namun justru lebih menghambat pembangunan daerah, adalah adanya ketentuan bahwa gubernur dan pimpinan daerah lainnya harus diusahakan putera daerah.
Gubernur yang idela tentunya putra daerah yang tidak sukuisme dan juga tidak membiarka sukuisme atau daerahisme marajalela dan malah menghambat pemabangunan. Kepadatan penduduk itu juga menimbulkan masakah, menimbulkan macam – macam kerawanan dalam bidang kependudukan.
            Kerawanan kependudukan adalah kerawanan sosial – ekonomi yang disebabkan oleh masih banyaknya kesenjagan dalam kelompok – kelompok sosial penduduk dan lingkungannya. Kesenjangan dan kerawanan itu bisa ditimbulkan misalnya oleh arus urbanisasi yang besar, penyempitan penguasaan dan kepemilikan lahan pertanian, pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi, pengangguran tenaga kerja, desakan penduduk pada lingkunga, pencemaran pada limbah masyarakat maupun industri, dan lain sebagainya.
            Pengerogotan hutan di jawa juga terjadi, pemerintah sudah menentukan bahwa 30% luas areal P. Jawa harus dihutankan, bahkan tahun 1987 dinaikkan menjadi 40%. Namun kenyataannya saat ini hutan di jawa tidak lebih 22.7% luas P. Jawa saja. Angka ini menjadi mengkhawatirkan bila kita bandingkan dengan jepang, yang sudah maju dan kepadatan penduduknya sekitar separuh P. Jawa, menyediakan hutan 67% luas kepulauan jepang supaya masalah air, kelestarian lingkungan benar – benar terjamin.
            Musibah banjir, tanah longsor, tanah menjadi kritis, dan lain – lain juga terus berlangsung. Tahun 1987 / 1988 di jawa mengalami 127 kali banjir dan 197 kali tanah longsor. Ini menunjukkan bahwa masalah keseimbangan tanah, hutan dan air di jawa memang harus mendapat perhatian semua pihak. Masalahnya, adanya tekanan kepadatan penduduk yang sangat besar dan kebutuhan perluasan pemukiman, industri, lahan pertanian terus bertambah maka secara alami luas hutan yang 22.7 % itu malah semakin menciut, maka bisa dibayangkan kesulitannya bila harus memperluas dua kali lipat.

5.   Tiga Modal Pokok
            Untuk menyelamatkan P. Jawa maka ada 3 modal pokok yaitu :
1.   Kebijaksanaan perluasan kota untuk mengendalikan perluasan pemukiman dan penataan kota yang lain,
2.   Kebijaksanaan perluasan hutan,
3.   Kebijaksanaan perluasan jaringan irigasi untuk mengamankan tanah dari erosi, mengendalikan, dan meningkatkan penyediaan air dan untuk meningkatkan produksi pertanian.
            Berikut ini sebuah saran terobosan kebijaksanaan perluasan kota P. Jawa yang pernah di muat di haria BANDUNG tanggal 30 Mei 1990 : “Sangat menguntungkan pemuda, Develover , dan rakyat, PEMBANGUNAN PEMUKIMAN UMUM DIPERKOTAN”. Garis besar dari kebijaksanaan ini adalah :
Kebijakan Perluasan Kota Vertikal dan Kota Taman
Perluasan kota–kota di jawa secara horizontal/mendatar harus dibatasi dan diganti dengan ketentuan harus vertikal, yaitu untuk usaha – usaha perumahan swasta maupun pemerintah. Artinya di luar batas kota dilarang membangun perumahan yang baru harus di dalam batas yag sudah ditentukan.
Para developer harus membangun perumahan susun untuk golongan pendapatan rendah, sedang, maupun tinggi. Kebijaksanaan itu akan menghasilkan manfaat besar sebagai berikut :
1.         dimungkinkannya pembangunan daerah kumuh daerah denga perumahan padat dengan sistem rumah susun tanpa mengusir penghuni lamanya.
2.         pemerintah bisa menghemat biaya sangat besar sebab rasio panjang jalan, jaringan listrik, telepon, PAM, angkutan umum dan lain – lain dibandingkan dengan jumlah unit rumah akan jauh lebih kecil.
3.         sistem perluasan kota vertikal berarti efesiensi kerja sebab perumahan bisa didekatkan dengan perkantoran, kantor dengan kantor.
4.         sistem ini juga akan memberi suatu terobosan dalam mengatsi masaah kemacean jalan dan kerugian pengusaha angkutan.
5.         daya tari wisata penanaman modal pada kota bersangkutan akan naik.
6.         mengatasi masalah penyediaan air dan pencemaran udara, air, serta limbah padat.
7.         meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi
8.         secara makro pemerintah juga bisa merancang sistem ventilasi kota
9.         membangun sosialisasi masyarakat :
-           Dengan membangun rumah susun untuk kampung kumuh maka para penghuni akan terpaksa belajar hidup lebih tertib, bergotong royong, bersih dan bekerja keras.
-           Bila dalam jatah taman di bangun lapangan olahraga minimal voli/bulutangkis, maka program mengolahragakan masyarakat secara kongkret menjadi kenyataan.
-           Rukun Warga (RW) bisa disusun formasi penduduk kelas bawah, menengah, dan atas supaya RW ini punya kemandirian dalam merencanakan dan membiayai proyek pembangunan masyarakat lingkungannya.
-           Suasana sosial timur bisa dijaga pada formasi campuran tersebut.

Apa arti pulau jawa menjadi pulau industri ?
            Apa arti Jawa menjadi pulau industri dan apa pula konsekuensi dalam pertencanaan dan pelaksanan pembangunan di Jawa sendiri, maupun di pulau-pulau lainnya.
Memang menggarap pembangunan pulau jawa tanpa memperhatikan keterkaitannya dengan pembnagunan luar jawa akan sangat berbahaya. Bukan sekedar berbahaya dari segi sosial-politik namun juga lebih penting berbahaya bagi keberhasilan sasaran pembangunan Jawa itu sendiri. Dengan kata lain, pembangunan di Pulau Jawa tidak akan berhasil tanpa merencanakan pembangunan daerah luar Jawa.
            Sebelumnya kita lihat sekilas pembangunan industri Jepang, dimana 60% angkatan kerja Jepang di bidang pertanian, padahal hanya tersedia 15% lahan untuk pertanian di Jepang. Oleh karena itu sejak tahun 50-an Jepang memulai program Industri Masuk Desa (IMD) dan hasilnya tahun 1977 angkatan kerja di pertanian tinggal 10,6% atau sekitar 5,7 juta jiwa (jumlah pendusuk Jepang tahun 1977 : 115 juta jiwa dengan kepadatan sekitar 300 jiwa per km kuadrat).
            Pilihan Jepang menjadi kepulauan industri mengandung konsekuensi berat di bidang penyediaan air. Maka untuk bias menjamin kebutuhan air itu Jepang telah berhasil membangun hutan yang meliputi 67% luas tanahnya (Jawa tinggal 22,7% luas tanah). Rasio 67% hutan berbanding 33% non hutan ini perlu dikaji Indonesia, untuk mencari rasio yang sama di Jawa yang akan menjadi pulau industry juga. Apalagi kepadatan penduduk Jawa dua kali lipat Jepang dan hutannya tinggal 22,7%, maka hal ini sudah sangat mendesak.

1. Tenaga Kerja
            Kalau hutan diperluas berarti banyak tanah pertanian harus dibebaskan. Padahal kecenderungan yang terjadi adalah karena laju perluasan lapangan kerja saat ini tidak seimbang dengan laju pertambahan angkatan kerja, maka justru areal pertanian cenderung meluas karena serbuan angkatan kerja pedesaan yang haus pekerjaan. Untuk mengatasi peledakan angkatan kerja dan penyerbuan lahan pertanian dan hutan yang sudah sempit itu maka prlu ada program terpadu Industri Masuk Desa (IMD). Bukan sekedar pembinaan industri kecil yang sudah ada, tetapi mentargetkan perluasan industri baru di pedesaan.

2. Hubungan dengan luar Jawa
            Bagaimana keterkaitan P.Jawa dengan pulau-pulau lain terlihat dari data dimana dari luas P.Jawa yang hanya 6,7% dari luas tanah di Indonesia ternyata menanggung beban harus menyediakan 61,7% produksi padi, 65,9% produksi jagung, 64,5% produksi ubi, 58,8% produksi kacang, dan 57,1% kedelai alias sekitar 60% produksi pangan Indonesia berasal dari Jawa.
            Beban P.Jawa sebagai produsen pangan masih bisa dipertahankan meskipun P.Jawa jadi pulau industri. Namun itu berarti memerlukan intensifikasi pertanian dan subsidi yang lebih tinggi. Maka jika Jawa akan dijadikan pulau industri beban produksi pertanian itu harus di geser ke luar Jawa dan memang situasinya akan mengarah ke sana.
            Ledakan kependudukan di P.Jawa dalam waktu dekat belum bisa ditangani melalui IMD. Angkatan kerja harus disalurkan di bidang usaha pertanian di luar Jawa. Dengan sisitem transmigrasi gaya lama sudah terbukti tidak bisa mengatasi masalah. Jadi masih satu masalah besar yang perlu segera diatasi. Celakanya, kondisi sarana usaha tani di luar Jawa juga sangat ketinggalan. Sumatera yang dinilai paling maju dibandingan pulau lain di Indonesia timur hanya punya lahan beririgasi 1,7% dari luas tanahnya. Masih kalah dengan Nusa Tenggara yang 3,4% dan Sulawesi yang 2,2% yang berada di Indonesia bagian Timur itu. Padahal arus transmigrasi swakarsa yang paling diharapkan dan yang sudah terbangun sarana transportasinya adalah Sumatera. Sumatera harus mendapatkan perhatian besar dalam pembangunan daerahnya. Tentunya bukan hanya menarik investor besar, namun pembangunan yang bisa memberi lapangan pekerjaan bagi pasukan semut yang akan mengalir dari Jawa. Tentunya tidak melupakan pulau-pulau lainnya, asas pemerataan pembangunan tetap dipertahankan hanya saja yang membedakan adalah bidang yang diprioritaskan.
            Pola pembangunan Lampung meroket mengalahkan provinsi-provinsi lainnya karena dukungan pasukan semut dari Jawa. Sebaliknya pola pembangunan daerah gaya Sumatera Utara yaitu dengan mendatangkan penanam modal besar  untuk membuka perkebunan luas atau industri yang meskipun telah dimulai sejak jaman kolonial tetap belum dapat sama dengan Jawa malah nyaris di kejar Lampung juga harus dikaji. Sebab kecenderungan pemda luar Jawa saat ini adalah mengundang investor besar sebanyak-banyaknya dan bukan perpindahan pasukan semut itu.

3. Pasukan semut jangan digusur
            Khusus untuk Lampung, pemerintah perlu menyetop usaha penggusuran petani kecil (pasukan semut) oleh raksasa bermodal besar. Sebab mereka ini adalah perintis pembangunan yang harus dihormati dan dibina keberadaannya, bukan sebaliknya.
            Indonesia tidak boleh teperosok pada gaya pembangunan negara industri yaitu mengandalkan penanaman modal di bidang industri, sebab petani-petani Indonesia memang belum diarahkan pada industri. Belum ada program IMD seperti di Jepang pada tahun 50-an. Padahal ledakan angkatan kerja terbesar justru terjadi pada kalangan petani? pedesaan sehingga logikanya pembangunan di luar Jawa harus bertitik berat pada bidang pertanian supaya bisa menampung angkatan kerja di P. Jawa yang belum tertampung di bidang industri dan sekaligus untuk membangun daerah luar jawa yang nasih ketinggalan dalam sarana dasarnya (pengairan, jalan, pemukiman, dan lain-lain)
            Pemerintah dan para penanam modal juga harus membangun daya serap pasar di seluruh Indonesia. Semakin banyak penduduk Jawa membangun luar Jawa, maka semakin besar daya beli penduduk Jawa maupun luar Jawa itu. Sebab angkatan kerja yang bekerja di Jawa tidak perlu mrnanggung banyak penganggur. Dan yang paling penting, proses pengalihan produksi pangan yang semula sebagian besar dari P.Jawa, ke luar Jawa bisa berlangsung. Tanpa melewati macam-macam masalah kritis karena kebijaksanaan dan program pembangunan ketinggalan dalam mengantisipasi perubahan.

KEBIJAKSANAAN PERLUASAN HUTAN P.JAWA
RESENSI BUKU :
            Pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management)/ SFM diartikan sebagai upaya melakukan sinergi peran para pelaku pengelolaan hutan untuk mewujudkan kelestarian hutan di Indonesia untuk jangka panjang. SFM dapat dilihat dari banyak aspek, salah satunya dilihat dalam perspektif pemberdayaan masyarakat yang dikaitkan dengan ketersediaan tanah, pembangunan sumberdaya hutan, dan keadilan sosial sesuai dengan pembukaan UUD 1945. Perspektif ini didukung oleh semangat reformasi dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Penyelesaian masalah tanah dan hutan untuk keadilan sosial ini masih memerlukan perjuangan dan penyadaran semua pihak secara arif, berjiwa besar, bermartabat secara hukum yang dilandasi oleh pengetahuan sosiologis masyarakat Indonesia.
            Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai upaya sistematis yang dikenakan kepada individu atau kumpulan orang untuk mencapai tujuan mereka. Pemberdayaan masyarakat berarti juga upaya meningkatkan kemampuan orang atau kelompok orang sehingga menghasilkan kemandirian orang per orang atau kelompok. Dalam proses pemberdayaan menuju kemandirian ini, masyarakat desa dibantu, didampingi dan difasilitasi untuk melakukan analisis dari masalah yang dihadapi, untuk menemukan pemecahan masalah tersebut dengan menggunakan sumberdaya yang dimiliki, menciptakan aktivitas dengan kemampuannya sendiri.   Dalam pemberdayaan, masyarakat diberi peluang memutuskan apa yang dikehendaki, inisiatif mereka menjadi dasar program-program dan rencana pembangunan desa. Peran pihak lainnya tetap ada tetapi tidak lagi sebagai pelaksana kegiatan. Peran pihak luar hanya mendukung inisiatif lokal saja, tidak dalam kapasitas memaksakan kehendak mereka.
            Sesungguhnya secara teoritik kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam sektor apapun pastilah diawali dengan hadirnya nuansa konflik antara masyarakat dengan pihak lainnya. Konflik tersebut sukar dihindari, tetapi harus dihadapi dan dikelola. Pemberdayaan masyarakat dalam sektor kehutanan dimaksudkan sebagai upaya untuk mengelola konflik agar menjadi lebih produktif dan bermanfaat bagi semua pihak terkait. Pemikiran SFM, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan skenario pengelolaan hutan yang sesuai dengan masalah-masalah sosial ekonomi budaya dan politik di Indonesia, akan diperbincangkan dalam tulisan ini. Menurut data tahun 2008, di Asia Pasifik terdapat 640 juta orang miskin (diukur dari pendapatan $ 1/hari), dimana sebagian besar dari orang miskin tersebut tinggal dan hidup di sekitar kawasan hutan. Di kawasan Asia Pasifik terdapat 260 juta penduduk asli (indigenous people), dan sebanyak 60 juta jiwa bergantung kehidupannya dari sumber daya hutan. Di Indonesia ada 48,5 juta jiwa penduduk di sekitar hutan, dan sekitar 10,2 juta jiwa masuk dalam kategori penduduk miskin.
            Di kawasan Asia Fasifik luas hutan sekitar 731 juta ha (tahun 2000) dan meningkat menjadi 734 juta ha (tahun 2005). Pertambahan luas hutan sebanyak 3 juta ha ini berasal dari keberhasilan pembuatan tanaman Hutan Tanaman Industri di China dan Vietnam. Namun demikian di Asia Fasifik juga telah kehilangan hutan seluas 3,7 juta ha karena deforestasi. Indonesia untuk tahun 2008 mengalami deforestasi sebesar 1,08 juta ha. Dalam kurun waktu 1990 s/d 2005, Indonesia kehilangan hutannya rata-rata antara 1.8% s/d 2% per tahun, termasuk rekor tertinggi di dunia. Bandingkan angka ini dengan laju deforestasi tingkat dunia yang hanya 0.18% per tahun, Indonesia melampaui nya. Bandingkan pula dengan prestasi Vietnam yang bisa membalik deforestasi menjadi perluasan hutan. Vietnam menambah hutannya dengan laju 2% setiap tahun, khususnya dari pengembangan HTI. Di Asia-Pacific, hanya terdapat 14.4 juta ha kawasan hutan yang dikategorikan dikelola secara lestari. Sampai thn 2008, hanya 30 jt ha hutan di dunia ini yg disertifikasi (8% saja dari seluruh hutan di dunia) dan lebih dari 90% hutan yang disertifikasi terdapat di negara-negara maju. Di Asia-Pacific sedikit sekali hutan yang sudah disertifikasi, menyedihkan (FAO, 2009), dan di Indonesia hutan rakyat banyak yang sudah mendapat sertifikasi hutan rakyat lestari dari LEI atau lainnya.
            Sumberdaya hutan di Indonesia saat ini berada dalam satu fase tekanan yang amat serius akibat dari perubahan sistem pemerintahan dan perkembangan ekonomi, politik, sosial, teknologi, dan perubahan iklim. Jika tidak segera dipersiapkan dan diantisipasi dengan cerdas, sistematis, berani, kalkulatif, dan bertanggung jawab, maka dapat dipastikan fungsi hutan sebagai pensuplai materi kehidupan, pengawetan alam, konservasi alam, sumber plasma nutfah, sumber obat-obatan masa depan manusia, pengatur stabilitas iklim global, dan pengatur sumber air, akan segera musnah dari bumi Indonesia. Pasti semua hal di atas tidak kita inginkan.         Pertumbuhan penduduk dan pemenuhan kebutuhan lahan untuk kegiatan non-kehutanan adalah dua hal yang dapat dilihat sebagai kompetitor, dan dapat juga menjadi hal yang bersinergis positif jika ada kejelasan arahan pembangunan Indonesia. Pembangunan yang pro kapitalis ? pro rakyat? Pro pertumbuhan? Dan pro lingkungan?
            Sebagian besar kebijakan pembangunan kehutanan sejak tahun 1970-an telah dilahirkan atas dasar ” profesional dalam bidang kehutanan”. Contoh paling nyata adalah pemanfaatan hutan alam tropis dengan sistem HPH pada awalnya tidak didasarkan atas penelitian yang akurat, tetapi didasarkan atas toeri-teori yang sudah berjalan di beberapa negara. Kaum intelektual yang memproduksi pengetahuan juga memiliki andil kesalahan dalam pemanfaatan hutan tropis luar jawa pada masa Orde Baru. Tetapi pengambil kebijakan, institusi pemerintah sebagai lembaga yang memproduksi regulasi dan pengawas pelaksanaan pembangunan, memiliki andil kesalahan yang paling besar. Ke depan mereproduksi kesalahan tersebut sudah harus tidak diulang lagi oleh siapapun. Saat ini semua pihak di Indonesia sudah memiliki pengalaman banyak untuk tidak membuat kesalahan baru.
            Dalam kontek pengelolaan hutan di Propinsi Lampung, selama 3 dasarwarsa terakhir ini memang sangat tidak menggembirakan. Lebih dari 73% kawasan hutan lindung mengalami perubahan fungsi dimana penggunaan lahan hutan berubah menjadi penggunaan non kehutanan (menjadi kebun kopi dan semak belukar). Hutan produksi dan hutan konservasi juga mengalami perubahan fungsi menjadi pemukiman dan kebun. Kawasan hutan dengan semua fungsinya di Propinsi Lampung telah mengalami perubahan bentuk pemanfaatan oleh masyarakat (sebagian besar melalui proses illegal menurut hukum positif).
            Luas daratan Indonesia adalah sekitar 192 juta hektar dan dari luasan tersebut yang berupa kawasan hutan 147 hektar. Selanjutnya berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dilaporkan bahwa kawasan hutan Indonesia adalah 143 juta hektar yang terdiri atas hutan produksi seluas 64 Juta hektar yang terbagi atas hutan produksi tetap (HP) 33 juta hektar dan hutan produksi terbatas (HPT) 31 juta hektar, hutan lindung 29,5 juta hektar, hutan konservasi 30,5 juta hektar, hutan swaka alam dan wisata 19 juta hektar (Soetarto, 2000).
            Penggunaan hutan paling besar adalah untuk hutan produksi dimana hutan dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pengeksploitasian ini diantaranya untuk dijadikan ladang berpindah, persawahan, pemukiman, lahan perindustrian maupun lahan perkebunan. Perebutan lahan hutan yang awalnya merupakan open access itu, kini menjadi persengketaan, dan tidak jarang berujung pada konflik mendalam. Hal ini bukan saja diakibatkan oleh perebutan sumber-sumber daya alam di dalamnya tetapi juga proses klaim dan tata guna lahan yang sampai saat ini masih banyak terjadi penyimpangan.
            Kawasan hutan Halimun yang sekarang ditunjuk menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak merupakan salah satu kawasan sarat konflik. Keberadaan kurang lebih 100.000 jiwa penduduk dalam kawasan baik masyarakat asli (adat kasepuhan) maupun masyarakat lokal dan pendatang menjadi persoalan tersendiri selain keberadaan perusahaan perkebunan dan pertambangan. Kepentingan investasi pertambangan untuk eksploitasi sumberdaya alam Halimun pun tidak kunjung reda sejak jaman Pemerintah Kolonial Belanda, hal yang secara prinsip bertentangan dengan kepentingan konservasi kawasan. Pada sisi lain, hak-hak masyarakat (adat dan lokal) tidak diperhatikan dalam perebutan sumberdaya alam tersebut. Pengakuan masyarakat adat kasepuhan misalnya tidak mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat (Priatna, 2008).
            Tahun 1992 muncul kebijakan tentang pengalih fungsian kawasan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi, pengelolaannya-pun diserahkan kepada pihak PPA dalam bahasa masyarakat setempat (sekarang taman nasional). Alih fungsi ini bersamaan dengan pemancangan tata batas kawasan secara sepihak, dimana masyarakat tidak mengetahuinya. Wilayah desa Cirompang merupakan wilayah yang masuk ke dalam kawasan konservasi tahun 1992 (Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun) dengan luas 40.000 Ha atau pasca perluasan (tahun 2003) menjadi 113.357 Ha disebut dengan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Pada tataran masyarakat dan lapangan hampir tidak terjadi benturan, akan tetapi kecemasan masih tetap ada. Alasannya adalah perbedaan kepentingan antara masyarakat yang menginginkan ada kombinasi produksi dan konservasi disatu pihak, sedangkan dipihak lain taman nasional yang masih cenderung mempertahankan aspek konservasi (Priatna, 2008).
            Perbedaan sudut pandang antara pihak-pihak yang berkepentingan tersebut akan berpengaruh ke semua aspek kehidupan masyarakat. Apabila klaim tata guna hutan konservasi tersebut sudah disahkan dan masyarakat tidak bertindak sesegera mungkin, maka mereka akan kehilangan lahan garapan yang merupakan sumber penghidupan sehari-hari. Hilangnya hak kepemilikan lahan tersebut bukan hanya berdampak pada para penggarap saja tetapi juga pada masyarakat secara tidak langsung. Harga kebutuhan pokok akan meningkat, mengingat hampir semua kebutuhan pangan dipenuhi dari hasil alam desa mereka sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman dan analisis masalah secara partisipatif untuk mendapatkan resolusi yang tepat, sehingga masyarakat dapat mengatasi masalahnya dengan didasari oleh pengetahuan yang mereka miliki digabung dengan adanya pengetahuan perkembangan undang-undang yang ada serta teknologi modern yang telah tersedia.

PENDEKATAN TEORI
 I.Konflik Sumberdaya
            Terdapat empat faktor yang biasanya menjadi pemicu konflik (Fermata, 2006), yaitu: sejarah lokal, dimana masyarakat merasa tanah itu miliknya karena mereka yang lebih dahulu tinggal; intervensi asing berupa campur tangan pihak luar terhadap permasalahan yang ada; kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan hak ulayat dan masyarakat, dan; dinamika internal, dimana tanah yang tersisa dan alternatif strategi bertahan hidup lainnya tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan mereka.
            Sumber konflik pertanahan yang terjadi antara lain disebabkan oleh (Suhendar, 2002):
a. Pemilikan atau penguasaan tanah yang tidak seimbang dan merata;
b. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan non-pertanian;
c. Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah (red);
d. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah (hak ulayat);
e. Lemahnya posisi tawar masyarakat pemgang hak atas tanah dalam pembebasan tanah.

II.1.3 Aksesibilitas Masyarakat
            Aksesibilitas seperti yang diterangkan oleh Adiwibowo (2008) memiliki beberapa tingkatan, secara umum terbagi atas hanya memiliki Akses dan kontrol, di tingkatan selanjutnya, masyarakat memiliki kewenangan menjaga sumberdaya, mengelola smberdaya dan yang teratas adalah dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut serta mengolahnya dengan cara mereka.

II.1.4 Lahan Pertanian
            Lahan pertanian bisa berupa lahan milik sendiri atau lahan milik orang lain yang digarap petani, yang disebut sebagai lahan garapan. Emakin besar persentase luas lahan milik dari luas lahan pengusahaan, maka usaha tani akan semakin efisien dan relatif besar keuntungannya daripada berusaha tani pada lahan milik orang lain karena berusaha tani pada lahan milik orang lain resikonya akan lebih besar daripada berusaha tani pada lahan milik sendiri. Dengan menggarap lahan milik orang lain, paling tidak si peggarap harus membayar sewa, bagi hasil, dan bentuk lainnya. Selain itu, kontinuitas usaha pada lahan milik orang lain kurang terjamin. Suatu waktu apabila lahan tersebut dijual pemiliknya, atau diganti penggarapnya, maka petani tersebut akan kehilangan lahannya (Ruswandi 2005).

II.1.5 Pendapatan Pertanian
            Pendapatan pertanian menggambarkan tingkat produktivitas lahan tersebut yang digunakan untuk usaha tani. Dalam ekonomi lahan, pendapatan usaha tani disebut land rent (keuntungan bersih atas penggunaan lahan). Usaha tani merupakan sumber pendapatan utama bagi keluarga tani (Ruswandi, 2005).

II.1.6 Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
            Menurut Nur et. al. (2004), Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat (PSDABM) atau Community Based for Natural Resources Management (CBNRM) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaan. Selain itu, masyarakat lokal memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaan (religion). Dengan kemampuan transfer antar generasi yang baik, maka PSDABM dalam prakteknya tercakup dalam sebuah sistem tradisional. Penerapannya akan sangat berbeda dengan pendekatan pengelolaan lain di luar daerah.
            Prinsip dasar dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat menurut Herryadi (2003) sebagaimana dikutip Nur et. al. (2004), yaitu:
a. Aktor utama pengelola adalah rakyat (masyarakat lokal, masyarakat adat)
b. Lembaga pengelola dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol langsung oleh rakyat yang bersangkutan
c. Batas antara kawasan unit pengelolaan komunitas setempat terdelineasi secara jelas dan diperoleh melalui persetujuan antar pihak yang terkait di dalamnya
d. Terjaminnya akses dan kontrol penuh oleh masyarakat secara lintas generasi terhadap kawasan pengelolaan
e. Terjaminnya akses pemanfaatan hasil sumberdaya alam sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian (sustainability) oleh komunitas secara lintas generasi di dalam kawasan konsesi
f. Digunakan tata cara atau mekanisme penyelesaian sengketa yang tepat terhadap pertentangan klaim atas wilayah yang sama
g. Adanya pengakuan dan kompensasi formal (legal) terhadap penggunaan pengetahuan tradisional (indigenous knowledge) masyarakat di dalam sistem pengelolaan yang diterapkan.










II. A
TOLAK UKUR DAN KLASIFIKASI SIKON DAERAH

Kalimantan Timur (Kaltim) Sama Parahnya Dengan Irian Jaya (Irja)
            Kalimantan timur yang luasnya 202.440km2 ternyata lebih dari 80% belum terjamah pembangunan, sementara pembagian wilayah hanya 8jiwa/km2 inilah yang menjai hambatan paling berat dalam pembangunanny.

Suasembada perlu diganti dengan menejemen saling keergantungan
            Kebijaksanan swasembada tidak bearti haris dibuang pada kondisi tertentu malah banyak dibutuhkan dilain sisi swasembada dapat melemahkan arus perputaran ekonomi padahal untuk bisa hidup dan membangun tidak mungkin bisa tanpa arus perputaran ekonomi dan situasi ini hanya mungkin ada kalau tiap-tiap daerah saling ketergantungan.
            Secara reel dapat kita lihat ketergantungan antara dua pulau yaitu jawa dan sumatera. Dimana sumatera membutuhkan beras dan tekstl sedangkan pulau jawa membutuhkan karet, minyak sawit, rotan, tembakau dan lainnya. Jada sesungguhnya pemerintah malah harus mencptakan situasi saling ketergantungan itu supaya dapat memacu laju roda ekonomi agar berjalan ecara dinamis.

 Arti pengembangan Kebijaksanaan saling Ketergantungan
            Dangan memusatkan mengembangkan industry dipulau jawa maka maka di pulau luar jawa diberi tugas menyediakan bahan baku.









II.B
SETOP KEBIJAKSANAAN YANG MEMBANGUN JURANG

            Dengan system perecanaan pembangunan sektorial saja dikawatirkan dapat membentuk jurang pemisan antara pulau pemasok bahan mentah kejawa dengan pulau produksi karna dapat dilihat bahwa perkembangan pembangunan yang kurang merata antar daerah-daerah tertentu,.

Potensi Saja Belum Mencukupi
Perencanaan Terpadu
Langkah-langkah dalam menyusun perencanaan terpadu adalah:
1.         Mencari potensi daerah
2.         Mencari prospek dari potensi-potensi yang diperoleh
3.         Mencari hambatan-hambatan untuk mengolah potensi
4.         Mengarap beberapa potensi berantai (terpadu)
5.         Melaksanakan perencanaan terpadu

Mengikuti pola lampoon atau sumatera utara
a.         Lampung
            Lampung boleh disebut tempat penampungan luberan pulau jawa, citra lampung sebagai daerah transmigrasi dan luberan pengangguran dari pulau jawa masih melekat erat. Meski itu fasilitas yang diberikan oleh pemerintah cukup banyak sehingga menarik minat infestor untuk menanamkan modal dilampung selain itu juga lampung memiliki banyak potensi untuk dikembangkan seperti hasil alam dan kayu serta tenaga kerja ysng masih banyak akibat transmigrasi.
b.         Sumatera utara
            Sumatera Utara semula memusatkan pembangunan pada perkebunan besar dan nyaris melupakan perkebunan rakyat baik pertanian pangan maupun perkebunan rakyat.




II. C
KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN INDONESIA BAGIAN TIMUR (IBT)

Cara Pembangunan setrategi Kelompok IBT
            Ketinggalan dalam bidang pendidikan pendidikan dan kaderisasi pembanunan sehingga membuat daerah ini ketinggaln dari daerah lainnya di Indonesia. Namun dengan memberikan preoritas prioritas pada bidang pendidikan, penyuluhan, latihan ketrampilan maka diharapkan dapat mengejer sedikit ketertinggalan didaerah masing-masing dan dapat membantu dalam proses proyok pembangunan.
            Maluku salah satu contoh luas wilayah IBT yang luas daerahnya 74.515km2 dan lautan yang luasnya lebih dari 1000.000km2, yang mengharuskan pembagian dalam setiap wilayah IBT, dampak dari luasnya wilayah ini menjadikan pertimbangan untuk membagi wilayah-wilayahnya agar lebih memudahkan pengawasan serta pembangunan wilayah.

Orientasi pasar
            Masih sampai saat ini IBT masih berorientasi kepada pasar ke ambon, Surabaya, Ujung Pedang bahkn Jakarta dengan mengalami halangan kesulitan komunikasi, transportasi dan lingkungan. Yang lebih membawa dampak pembangunan pangsa pasar apabila wilayah jaya Pura dan Biak mampu berorientasi pasar ke kawasan pasifik timur.
            Pembangunan propinsi irian jaya selatan khususnya sekitar meroke dengan macam-macam usaha transmigrasi PIR perkebunan, industry, pembangunan prasarana lingkungan.

KEBIJAKSANAAN KUNCI
            Semua propinsi bisa mempromosikan secara gencar kekayaan dari potensi alamnya, fasilitas dan keringanan perojakan, kalaw keinginan masyarakat untuk membangun sudah terlihat jelas dari hasil produksi hendknya dibutuhkan sarana serta kelengkapan fasilits yang harus di sediakan oleh pemerintah setempat maupun pusat agar proses pembangunan dapat berjalan dengan baik.

SIAPA DAN BERAPA YANG AKAN LEWAT?
            Pembangunan jalan raya Senggi-Wamena dengan menelan biaya 60 milyar rupiah. Jarak antara Senggi-Wamena hanya sekitar 300 km. Ini berarti tiap kilometer panjang jalan akan menelan biaya 200 juta, pembangunan jalan akan mendorong pembangunan masyarakat sekitarnya. Namun untuk efisiensi dan efektifitasnya banyak ditentukan oleh prasyarat lain. Melihat dari jumlah penduduk yang hanya 257.971 jiwa dengan biaya 60 milyar di khawatirkan proyek itu akan terjerus pada kesia-siaan, sebab dana yang akhirnya terbuang itu seharusnya memajukan daerah beberapa langkah karena melihat dari kelayakan fungsi jalan itu sendiri khususnya untuk penduduk Irian Jaya yang berada di daerah gunung, biaya 60 milyar dapat digunakan pemanfaatannya sebagai berikut :
a.         Pusat pengembangan Irian Jaya
            Pusat pengembangan yang dapat dilakukan ialah menghubungkan Jaya Pura-Wamena, Merauke-Nabire dan kota-kota di pegunungan ini seperti Wamena, Ilaga, Hitadipa, Enarotali lalu menyusuri daerah pegunungan barat ke Nabire.
            Masalah lain adalah pemindahan atau transmigrasi local ke daerah pembangunan perkebunan, persawahan, peternakan, perikanan, dll supaya energy mereka bisa di manfaatkan untuk pembangunan Irian Jaya dan sekaligus memperoleh percepatan pendidikan, keterampilan, kebudayaan, dll. Sedangkan prasarana yang dibangun sebagai sarana pembangunan yang lain seperti : sekolah, pembangunan PLTA serta fasilitas yang lain.

b.         Program gerakan turun gunung (PGTG)
            Pendidikan penduduk juga menghadapi kesulitan, oleh karena itu program pendidikan dan pendewasaan penduduk asli harus mendapat prioritas bersama dengan program pendidikan. Program pendidikan harus bersama dengan program trasmigrasi local sekaligus mendidik mereka bertani bersama petani transmigran Jawa. Hal ini dimaksudkan pendidikan dengan praktek di lapangan yang hasilnya sekaligus dinikmati transmigran perlu dikoordinir, disiapkan, dan diarahkan oleh para pamong supaya bisa terjalin rasa persaudaraan dan kesatuan bersama penduduk asli.
c.         Orientasi pasar
            Indonesia bagian barat sudah sangat maju akibatnya IBT silau kalau harus berlomba dalam usaha perdagangan antar pulau maupun ekspor. Namun mengapa IBT harus melihat ke barat yang jaraknya lebih jauh, padahal di sebelah timur masih satu pulau ada negara yang di sebut Papua Nugini ke timur lagu ada Viji, Vanuatu, Samoa, Kalidonia Baru, Kepulauan Salomon, serta Tonga. Di sebelah selatannya hanya 100 m dari merauke terletak garis perbatasan benua Australia dan kota yang paling utara dari merauke hanya sekitar 100 km yaitu kota Weipa. Pernahkan pulau itu diperhitungkan untuk menjalin kerjasama dagang ekonomi dengan daerah IBT padahal jika hal ini dapat diwujudkan dapat lebih membangun daera-daerah di IBT, melihat dari potensi kekayaan alamnya. Maka ketinggalandaerah ini dapat terkejar dalam waktu singkat asal program kerjasama ini dapat terwujud dan pembauran bangsa antara suku bisa diwujudkan secara sosial dan biologis.



















BAGIAN III
PEMBANGUNAN SEKTORAL

            Pengertian sector disini adalah pembidangan yang disesuaikan dengan kelompok sasaran pembangunan misalnya sector pedesaan, industri, pertanian, kehutanan, perikanan dan perkotaan. Tiap-tiap daerah harus dicari system tepadunya sebelum melangkah pada detail pembangunan sektoralnya. Pendekatan ini bertitik berat pada masalah aktuil sector bersangkutan yang menunjuk pada masalah umum, jadi untuk bisa dijadikan pembangunan suatu sector di daerah perlu dilengkapi data-data dan penelitian terhadap lingkungan setempat. Baru kemudian bisa disusun pola perencanaan pembangunannya. Hal ini dimaksudkan agar pembangunan di suatu daerah tidak mengalami disfungsi atau kesia-siaan.

I I I A. PEMBANGUNAN PEDESAAN

            Tujuan akhir setiap pembangunan,pembangunan apa saja pastilah demi kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup manusianya. Hakikat pembangunan adalah memanusiawi kan manusia yaitu supaya matang dalam kedewasaannya,dinamis dan sanggup mengatasi segala tantangan lingkungan. Khusus menyangkut masalah – masalah yang timbul oleh cara pembangunan dari atas,masih dituntut diteruskannya cara pembangunan tersebut agar bisa mengatasi masalah – masalah yang muncul. Sebab hanya pemerintah lah yg bs menembus tembok-tembok birokrasi,korupsi dan banyak masalah lainnya yang muncul oleh adanya pendekatan dari atas tersebut.
            Sementara kalangan LSM melakukan pendekatan pembangunan dari bawah dan pemerintah dr atas.,maka penduduk pedesaan terus menerus mendapat dorongan dari belakang,dr alam bawah sadarnya. Dorongan itu brupa berkembang biaknya penyakit konsumtif oleh serbuan kemajuan dan hasil pembangunan dalam bidang transportasi dan komunikasi dan lain-lain. Celakanya perbedaan antara pedesaan dan kota seperti neraka dan surga. Dan kiblat penduduk pedesaan pun pasti kota,meskipun tiap malam TVRI menayangkan pahlawan yang sadar untuk pulang kampung membangun desanya. Sebab kota berarti surga. Pembangunan pedesaan belum mencapai taraf pembangunan desa modern dimana sarana dan prasarana lingkungan maupun masyarakatnya tak beda dengan perkotaan. Listrik,jalan aspal,angkutan masuk desa memang sudah beberapa tahun menjadi program pembangunan pedesaan. Namun itu tidak akan pernah mempersempit jurang antara kota dan desa selama penduduk pedesaan tidak dibangunkan usaha ekonominya. Kota menjadi pusat pembangunan dunia modern karena hanya di sekitar kotalah dibangun industri kecil maupun besar. Sedang membangun industri di pedesaan merupakan ide yang aneh bin lucu. “ngapain” demikian reaksi orang Jakarta.
            Pembangunan kota memang memperoleh manfaat sebesar-besarnya,karena tenaga murah terus mengalir dr desa. Tenaga ini bisa dijadikan buruh bangunan,buruh pabrik,kuli dll. Melesatnya pembangunan kota lengkap dengan industrinya seperti itu jelas juga menarik pembangunan dari desa. Paling tidak,banyak tenaga kerja yang berhasil di kota lalu menyumbang pembangunan kampung halamannya baik sekedar kirim uang maupun membuka usaha baru. Peranan para urbanis dalam ikut membangun desa jelas besar,meskipun belum ada pendataannya.sistem urbanisasi ternyata juga membangun sistem pendidikan dan pembinaan tenaga kerja melalui sistem magang di kota maupun di desanya.

Dari depan
            Setelah para petani dengan tekun melaksanakan petunjuk para penyuluh,pamong desa,siaran pedesaan TVRI,keputusan bersama kelompok tani,mahasiswa KKN,pejabat pusat yg turun ke bawah,dan lain-lain maka hasilnya memang menakjubkan. Indonesia berswasembada beras,produksi sayur meningkat demikian juga buah buahan,cengkih,telur,ayam potong,jagung,TKW dan lain lain. Masalah struktur yang berada di depan petani tidak hanya mekanisme pasar tetapi juga iklim usaha,perkreditan,dan masalah-masalah sosial dan politik.

Isolasi
            Hambatan maupun dorongan pembangunan pedesaan memang bisa dari atas,belakang,atau depan seperti digambarkan di atas. Sesungguhnya hambatan atau kekuatan negative yang berada di sekitarnya dan juga dari diri petani dan pedesaan itu sendiri juga cukup besar. Ada macam-macam sikap mental,keterbelakangan,adat,keterbatasan lingkungan dan birokrasi yang bisa menentukan tersendatnya pembangunan atau sebaliknya. Isolasi bisa muncul dari dalam diri petani sendiri. Namun juga bisa muncul dari lingkungan,seperti masyarakat yang masih fanatic pada adapt,agama,atau suku atau lurah yg otoriter,daerah yg terpencil,dll. Masalah isolasi pada suatu tempat perlu mendapat penelitian dan pengkajian yang mendalam,sebab sering menjadi kunci sukses suatu program. Atau sebaliknya,menggagalkan proyek bila isolasi itu tidak diperhatikan.

I I I.B. PEMBANGUNAN KOPERASI

Untuk meningkatkan perkoperasian
Departemen Koperasi Sebaiknya Dihapus
            Kalau departemen koperasi dihapuskan berarti tiap departemen yang bersangkutan dengan pembinaan usaha kecil harus menguasai dan mendalami masalah koperasi sehingga harus mempunyai lembaga Pembina koperasi sendiri yang tergabung pada lembaga penyuluhan dan pembinaan usaha. Penghapusan departemen koperasi jelas bukan berarti mem-PHK kan ribuan karyawan departemen ini sebab mereka tinggal ditingkatkan ketrampilannya dan disalurkan pada departemen-departemen yang membutuhkan. Oleh karena itu sebelum Departemen Koperasi dibubarkan mereka malah harus mengadakan program pendidikan dan pelatihan untuk program pengembangan koperasi di berbagai sector,diklat untuk karyawan Depkop maupun karyawan departemen lainnya untuk menutup kekurangan.

Manfaat utama : Bukan SHU tetapi ‘Jasa Koperasi’ !
            Koperasi simpan pinjam bisa memberikan pinjaman jangka pendek atau panjang dalam waktu singkat tanpa agunan dan prosedur berbelit-belit. Begitu pinjaman lunas anggota bisa pinjam lagi. Kebiutuhan mendadak dapat dipenuhi secara cepat oleh koperasi. Melalui koperasi konsumsi maka anggita koperasi bisa berasatu menghadapi harga barang eceran yang mencekik leher bahkan malah memberikan keuntungan bersama. Melalui koperasi konsumsi,banyak kebutuhan anngota bisa dibeli dengan cara kredit ringan. Koperasi juga memberi jasa sebagai wakil para pengusaha anggota koperasi dalam tawar menawar dengan pelbagai pihak baik yang menyangkut hasil produksi ,bahan baku maupun pinjaman kredit. Fungsi pendidikan dan latihan berbagai ketrampilan dan pengetahuan bagi para anggota juga sepenuhnya menjadi tanggung jawab koperasi. Suatu koperasi bisa menjadi konglomerat seperti yang terjadi di Eropa dan Canada karena kesetiaan dan kerja sama yang erat dengan para anggotanya. Kalau fungsi-fungsi manfaat koperasi itu bisa dilaksanakan secara serempak dan mendapat pengawasan ketat oleh segenap pengurus dan anggota,maka bisa dipastikan keuntungan dalam bentuk uang juga akan lumayan,tak kalah dengan keuntungan sebuah perseroan terbatas (PT).

I I I.C.
PEMBANGUNAN TRANSMIGRASI

Sistem Transmigrasi Perlu Dirombak
            Sasaran program transmigrasi harus diubah dan karena sasarannya berubah maka sistemnya pun harus dirombak. Sasaran program perlu dirombak,sebab hanya dengan perombakan ini maka sasaran program transmigrasi dapat dicapai secara optimal. Perombakan yang paling mendasar adalah menyangkut cara pendekatannya. Transmigrasi yang sedang berjalan saat ini (1987) dasar pendekatannya adalah kepadatan penduduk di Jawa,Bali,Lombok,Madura. Lebih jauh lagi sampai berapa jauh daerah bersangkutan dapat mengejar ketinggalan dalam bidang pembangunan dibanding propinsi di jawa dan bali. Dan tak kurang pentingnya,sampai berapa jauh hasil pembangunan daerah itu sehingga menimbulkan selera calon transmigran swakarsa untuk pindah ke daerah lain. Dengan demikian sistem baru ini bisa disebut Transmigrasi Pembangunan Daerah (TPD).

III.D
PEMBANGUNAN INDUSTRI
Lebih Dari 70% Penduduk Indonesia Tinggal Di Pedesaan, Bagaimana Kedudukan mereka Dalam Pembanguan Industri ?

            Pembanguan industry Indonesia memang melaju dengan cepat terutama didorong oleh peluang barang industry yang semakin bagus, ekspor barang barang non migas, dan barang-barang industry non migas. Namun kemajuan yang sangat cepat di bidang industry itu tidak dapat di rasakan dengan merata oleh seluruh masyarakat Indonesia. Hanya sebagian kecil penduduk Indonesia saja yang merasakan kemajuan di bidang industry ini, yang tepatnya berdomisili di perkotaan dan sekitarnya. Hal ini karena kemajuan pembangunan industry hanya berarti pembangunan di perkotaan dan sekitarnya saja, pembangunan  yang terjadi hanya pada bidang perdagangan, jasa, dan keuangan. Dengan demikian hanya masyarakat perkotaan saja (pengusaha, karyawan dan rekanan 4 bidang ini) yang memperoleh kenaikan pendapatan yang cepat. Sementara sebagian besar penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan yang jumlahnya mencapai 120 juta jiwa atau 74,15% dari penduduk Indonesia(data tahun 1985) tidak ikut merasakan keuntungan dari pembangunan industry yang terjadi.
Hal itu di sebabkan harga produk pertanian yang selalu di kendalikan agar tetap berada di bawah. Ini berarti pendapatan petani kita secara nyata turun, meskipun di lihat dari angka mengalami kenaikan oleh karena adanya kenaikan kapasitas produksi maupun kenaikan harga yang tidak proposional. Penyebabnya antara lain karena naiknya harga-harga kebutuhan pertanian, seperti pupuk, pestisida, traktor, bajak, pacul, belum lagi naiknya harga kebutuhan rumah tangga dan pajak yang melebihi harga produksi pertanian.
Menurut Biro Pusat Statistik, pendapatan bersih rata-rata petani dengan luas sawah 1 hektar pada tahun 1986 hanyalah Rp. 110.756,-/bulan dan meraka harus menanggung rata-rata 4 jiwa. Padahal 70,3% petani hanya menguasai tanah di bawah 1 hektar, dan yang menguasai tanah 0,75 – 1 hektar hanya  8,91%. Ini berarti sebagian besar penduduk pedesaan menggantungkan hidupnya pada pendapatan yang kurang dari Rp. 110.756,-/bulan. Padahal Kebutuhan Fisik Air Minum untuk P.Jawa yang tergolong murah pada tahun 1986 sudah mencapai Rp. 146.659, untuk pekerja dengan tanggungan 4 jiwa. Jadi realitas yang terjadi pada saat itu, sebagian besar penduduk pedesaan hidup di bawah kelayakan minimal.

Mengapa Tulisan Tentang Pembangunan Industry Ini Malah Di Awali Dengan Masalah Pedesaan Dan Pertanian ?
            Hal ini antara lain untuk menunjukkan kebesaran masalah pembangunan indsurti di Indonesia. Yang mencakup :
1.      Sebagian pembeli di Indonesia berada di bawah kelayakan, sehingga gampang membuat jenuh pasar barang industry.
2.      Di pedesaan muncul masalah kesulitan lapangan kerja, sedangkan khususnya di Jawa terjadi ledakan penduduk sehingga menimbulkan arus urbanisasi yang luar biasa. Sementara waktu kalangan perindustrian bias bergembira, sebab membajirnya buruh denga upah yang murah. Namun hanya sebagian kecil urbanis yang bisa menjadi buruh, karena terbuka lapangan pekerjaan dengan munculnya angkatan kerja baru tidak seimbang.
3.      Munculnya kesenjangan social antara buruh dan pengusaha, karena buruh merasa di perlakukan tidak adil. Di lain pihak, meningkatnya angka pengangguran menimbulkan bebrabagai masalah social dan criminal.
4.      Meningkatnya skala industry akan menyempitkan areal pertanian, karena pengusaha akan berusaha untuk melebarkan sayap usahanya. Sementara jumlah tenaga kerja yang di serap industry tidak sebanding denga pertumbuhan angkatan kerja.
5.      Pembangunan pertanian dan bidang lainnya di luar pulau jawa cukup lambat sehingga kurang member daya tarik munculnya transmigrasi spontan, yang berarti terjadinya perlambatan bagi pembangunan industry di luar pulau jawa, sebab psar tetap kecil dan sulit mencari tenaga kerja.

FILSAFAH POHON KELAPA

Keterkaitan Dengan Pasar Diatur
            Kalau sistemnya keterkaitan “pohon kelapa”, maka pemerintah atau asosiasi akan menyusun system standar, sehingga banyak “ akar-akar serabut (indurtri kecil/pedesaan)” bisa tumbuh berkembang dan tidak khawatir kehilangan pasar. Hal ini karena keterkaitanya dengan pasar sudah di atar dan di perhitungkan. Standar industry itulah yang akan menjamin keterkaitan industry pedesaan dan industry besar.

Fondasi Industri Nasional
            Industry kecil sebagai akar-akar itu akan mengukuhkan banyak perusahaan besar, itu akan menjadi fondasi bagi pembangunan dan pertumbuhan industry nasional.

PROGRAM PEMBANGUNAN INDUSTRI PEDESAAN

Pembanguanan Pertanian Saja Tidak Cukup, Kapan Industri Masuk Desa ?
            Industry pedesaan itu tidak sekedar kerajinan yang sudah dimiliki penduduk setempat tetapi benar-benar suatu jenis industry yang akan diikatkan pada pembangunan ekonomi nasional, yakni suatu terobosan untuk mempercepat pembangunan nasional. Skala industrinya tergantung kemapuan desa tetapi tidak dibatasi hanya kerajinan atau industry rumah tangga, dengan di jalankannya terebosan ini makan program IMD (industry masuk desa) siap untuk dijalankan. Kalau suatu pedesaan sudah mampu membangaun industry besar dan canggih maka pemerintah tidak perlu ragu untuk menggiring proyek ke sana.

Daya Tangkar Ekonomi
            IMD akan mempunyai daya tangkar ekonomi yang besar karena munculnya usaha-usaha baru seperti pedagang pengumpul, angkutan barang, ojek, angkutan antar desa, warung makan dan kebutuhan rumah tangga, kredit, pemborong bangunan, bengkel, dan lain-lain. Maka angkatan kerja yang muncul tidak sulit lagi mendapatkan pekerjaan, dan menimbulkan pemerataan serta peningkatan pendapatan.
            Dinamika dan kreatifitas desa yang sudah tersentuh industry pedesaan secara tidak langsung juga manjadi cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya alat industry yang di sendiri berdasarkan keperluan proses industry tersebut, misalnya saja alat bubut, alat ukur, mesin pres, dan lain-lain. Dalam membuat alat-alat industi tersebut mereka mencontoh barang-barang import baik lewat gambar maupun barang yang telah ada. Hal ini sangat menarik untuk di tindak lanjuti, manfaat yang paling besar hingga saat ini, yaitu di produksinya barang-barang murah sehinga terjangkau oleh konsumen tingkat bawah dan menengah.


II.1.
7 PROSES MENYEIMBANGKAN KEKUASAAN

Gambar1. Proses Menyeimbangkan Kekuasaan (Fisher, 2001)
            Gambar 1 menerangkan bahwa salah satu langkah dalam menyelesaikan konflik sumberdaya, dalam hal ini sumberdaya hutan perlu adanya komunikasi untuk menyeimbangkan kekuasaan. Adanya kesadaran masing-masing pihak dibutuhkan agar muncul mobilisasi dan pemberdayaan yang sebenarnya sangat riskan terhadap konfrontasi dan konflik dan apabila itu terjadi, maka perlu dimunculkan kembali kesadaran semua pihak. Kesadaran tersebut dapat dimunculkan baik melalui negoisasi, mediasi maupun diskusi formal dan informal lainnya. Siklus ini akan terus berputar sampai terbentuk hubungan yang disetujui oleh stakeholders atas sumberdaya hutan tersebut.

II.2 Kerangka Pemikiran
            Adanya perluasan areal konservasi yang batasnya masuk ke Desa Cirompang menyebabkan dampak yang besar bagi masyarakat. Batas yang ditetapkan oleh Taman Nasional Gunung Halimun-Salak memakan sebagian besar hutan milik desa dan lahan masyarakat. imbasnya atas klaim hutan adalah berkurangnya aksesibilitas masyarakat terhadap hutan yang akan berpengaruh pada pengelolaan hutan secara lestari. Sedangkan lahan masyarakat yang terkena klaim kemungkinan juga akan mempengaruhi pendapatan masyarakat di bidang pertanian.
            Fenomena ini kemudian menimbulkan konflik sumberdaya dan untuk memperbaiki keadaan perlua adanya proses menyeimbangkan kekuasaan dengan menimbulkan rasa saling percaya diantara para stakeholder sehingga mereka dapat sejajar dalam mengelola hutan. Luasnya areal hutan yang tidak memungkinkan dapat diawasi oleh pemerintah secara keseluruhan, akan dibantu oleh masyarakat menggunakan asas simbiosis mutualisme, dimana masyarakat juga dapat mengelola hutan dengan cara dan hukum yang mereka miliki.



II.2.1 Hipotesis Pengarah
            Bagan alur pemikiran di atas menghasilkan beberapa pola yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:
a. Semakin tinggi aksesibilitas masyarakat terhadap hutan, semakin baik pula tingkat pengelolaan hutan.
b. Diduga terjadi penurunan kepemilikan lahan setelah adanya klaim lahan dari Taman Nasional dan akan mempengaruhi pendapatan petani.
c. Bentuk penyelesaian konflik menuju ke arah pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat dengan berdasar pada prinsip-prinsip dasar dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat.
           

II.2.2 Definisi Operasional
a. Pengelolaan hutan
            Kegiatan memelihara, menjaga dan memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dengan indicator kelestarian sebagai berikut
- Pengelolaan hutan menjaga atau meningkatkan akses antar generasi terhadap sumberdaya dan berbagai manfaat ekonomi secara adil
- Stakeholder yang relevan memiliki hak dan kemampuan yang diakui untuk mengelola hutan secara bersama dan adil
- Kesehatan hutan, para pengelola hutan, dan budayanya dapat diterima oleh para stakeholder
b. Stakeholder
            Pihak-pihak yang berkepentingan atas sumberdaya yang tersedia. Secara garis besar, stakeholder meliputi masyarakat, pemerintah, dan swasta
c. Taman Nasional
            Areal konservasi bagi daerah hutan yang ditetapkan oleh pemerintah dengan peraturan perundang-undangan
d. Lahan dan areal
            Sebidang tanah yang digunakan dan/atau oleh suatu pihak untuk tujuan tertentu. Pada penelitian kali ini, lahan yang dimiliki masyarakat dibedakan atas:
- Luas lahan milik yaitu lahan yang dimilki sendiri oleh masyarakat
- Luas lahan pengusahaan yaitu lahan yang digunakan untuk kegiatan, baik bertani, beternak, memelihara ikan, dan sebagainya.
- Luas lahan garapan yaitu luas lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian

e. Konflik sumberdaya
Adanya benturan kepentingan antara pihak-pihak pengelola hutan
f. Pemahaman dan analisis konflik
Cara seseorang atau sekelompok masyarakat untuk mencoba melihat dan mencari pemecahan atas adanya sebuah perbedaan kepentingan
g. Aksesibilitas masyarakat lokal terhadap hutan dapat diketahui dengan melakukan perbandingan pada setiap masa kekuasaan. Variabel yang dibandingkan adalah sebagai berikut:
- Mengatur akses terhadap hutan
- Menjaga dan memelihara hutan
- Mengelola hasil hutan
- Memungut/memanfaatkan hasil hutan
h. Pendapatan petani
Materi yang didapatkan oleh petani baik itu pemilik, penggarap, maupun pemilik penggarap.

III. PENDEKATAN LAPANGAN

            Sebagai tambahan juga bahan pembanding untuk data yang sudah yang sudah ditemukan di lapangan. Untuk menjawab pertanyaan perumusan masalah tentang keadaan hutan saat ini dan tingkat kesejahteraan masyarakat, akan digunakan kuesioner yang akan diisi oleh responden. Dalam memilih responden digunakan salah satu teknik penarikan sampel probabilita, yaitu cluster random sampling, dimana peneliti mengambil sampel petani yang merupakan suatu kelompok pekerjaan dalam masyarakat. Penelitian kali ini akan menggunakan sampel petani, baik pemilik maupun penggarap (buruh tani) baik di lahan sawah maupun kebun karena responden dalam penelitian ini dianggap orang yang memang memahami dan merasakan dampak langsung dari perluasan areal konservasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Untuk pengambilan sampel penelitian, digunakan rumus Slovin,yaitu:
            Bentuk penyelesaian konflik yang ada di Desa Cirompang dianalisis menggunakan data kualitatif yang akan diambil dari para informan dengan metode wawancara mendalam. Untuk mendapatkan informan yang berkompeten, akan digunakan teknik penarikan sampel bola salju (snowball sampling) dengan mengetahui satu nama informan, kemudian dari informan inilah peneliti akan memperoleh nama-nama lainnya dan begitu seterusnya. Selain menggunakan teknik wawancara mendalam, peneliti juga melakukan pengamatan berperan serta dimana peneliti ikut juga melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan baik responden maupun informan dalam usaha memperoleh pengakuan atas lahan mereka.

Konsep Agraria
            Pengertian agraria seperti yang tercantum dalam UUPA 1960 (UU no 5/1960) (Sitorus 2002) adalah Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
Selanjutnya dari pengertian di atas Sitorus (2002) menyimpulkan bahwa jenis-jenis sumber agraria meliputi :
1. Tanah atau permukaan bumi, yang merupakan modal alami utama dari pertanian dan peternakan.
2. Perairan, yang merupakan modal alami dalam kegiatan perikanan.
3. Hutan, merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas perhutanan.
4. Bahan tambang, yang terkandung di “tubuh bumi”.
5. Udara, yang termasuk juga materi “udara” sendiri.
            Dalam memanfaatkan sumber-sumber agraria tersebut antara pengguna/subjek agraria yaitu komunitas, pemerintah dan swasta menimbulkan bentuk hubungan antara ketiganya melalui institusi penguasaan/pemilikan. Dalam hubungan-hubungan itu akan menimbulkan kepentingan-kepentingan sosial ekonomi masing-masing subjek berkenaan dengan penguasaan/ pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria tersebut. Bentuk dari hubungan ini adalah hubungan sosial atau hubungan sosial agraria yang berpangkal pada akses (penguasaan, pemilikan, penggunaan) terhadap sumber agraria. (Sitorus 2002)
            Struktur agraria dapat mempengaruhi munculnya hubungan sosial agraris yang berbeda antara satu tipe struktur agraria dengan tipe struktur agraria lain. Ada tiga macam struktur agraria yaitu:
1. Tipe Kapitalis: sumber-sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap (perusahaan)
2. Tipe Sosialis : sumber-sumber agraria dikuasai oleh negara/kelompok pekerja
3. Tipe Populis/Neo-Populis: sumber-sumber agraria dikuasai oleh keluarga/ rumah tangga penguna. (Wiradi 1998, dalam Sitorus 2002).
            Struktur agraria yaitu Suatu fakta yang menunjuk kepada fakta kehadiran minoritas golongan atau lapisan sosial yang menguasai lahan yang luas di satu pihak dan mayoritas golongan yang menguasai hanya sedikit atau bahkan tanpa tanah sama sekali di lain pihak.

2.1.2 Konversi Lahan
            Menurut Utomo, dkk (1992), konversi lahan dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Sebagai contoh yaitu berubahnya peruntukan fungsi lahan persawahan beririgasi menjadi lahan industri, dan fungsi lindung menjadi lahan pemukiman. Hal ini sejalan dengan penelitian di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari dimana lahan yang dikonversi merupakan kawasan hutan lindung yang kemudian dijadikan kawasan pemukiman oleh mereka.
            Menurut Kustiawan (1997), konversi lahan berarti alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Secara umum kasus yang tercantum pada bagian sebelumnya menjelaskan hal yang serupa seperti pengubahan fungsi sawah menjadi kawasan pemukiman.
            Berdasarkan fakta empirik di lapangan, ada dua jenis proses konversi lahan sawah, yaitu konversi sawah yang langsung dilakukan oleh petani pemilik lahan dan yang dilakukan oleh bukan petani lewat proses penjualan. Sebagian besar konversi lahan sawah tidak dilakukan secara langsung oleh petani tetapi oleh pihak lain yaitu pembeli. Konversi yang dilakukan langsung oleh petani luasannya sangat kecil. Hampir 70 persen proses jual beli lahan sawah melibatkan pemerintah, yaitu ijin lokasi dan ijin pembebasan lahan.
            Proses konversi yang melalui proses penjualan lahan sawah berlangsung melalui dua pola, yaitu pola dimana kedudukan petani sebagai penjual bersifat monopoli sedang pembeli bersifat monopsoni, hal ini terjadi karena pasar lahan adalah sangat tersegmentasi bahkan cenderung terjadi asimetrik informasi diantara keduanya. Sehingga struktur pasar yang terbentuk lebih menekankan pada kekuatan bargaining. Sedangkan tipe yang kedua adalah konversi lahan dengan bentuk monopsoni. Keterlibatan pemerintah dimungkinkan karena kedudukan pemerintah sebagai planner yang bertugas mengalokasikan lahan, dimana secara teoritis harus disesuaikan dengan data kesesuaian lahan suatu daerah lewat rencana tata ruang wilayahnya.
            Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama konversi lahan, pelaku, pemanfaatan dan proses konversi, maka tipologi konversi terbagi menjadi tujuh tipologi, yaitu (Sihaloho, 2004):
1) Konversi gradual-berpola sporadik, pola konversi yang diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang tidak/kurang produktif/bermanfaat secara ekonomi dan keterdesakan pelaku konversi.
2) Konversi sisitematik berpola enclave, pola konversi yang mencakup wilayah dalam bentuk sehamparan tanah secara serentak dalam waktu yang relatif sama.
3) Konversi adaptif demografi, pola konversi yang terjadi karena kebutuhan tempat tinggal/pemukiman akibat adanya pertumbuhan pendudukan.
4) Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial, pola konversi yang terjadi karena motivasi untuk berubah dari kondisi lama untuk keluar dari sektor pertanian utama.
5) Konversi tanpa beban, pola konversi yang dilakukan oleh pelaku untuk melakukan aktivitas menjual tanah kepada pihak pemanfaat yang selanjutnya dimanfaatkan untuk peruntukan lain.
6) Konversi adaptasi agraris, pola konversi yang terjadi karena keinginan untuk meningkatkan hasil pertanian dan membeli tanah baru ditempat tertentu.
7) Konversi multi bentuk atau tanpa pola, konversi yang diakibatkan berbagai faktor peruntukan seperti pembangunan perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, dan sebagainya.
            Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Konversi Lahan (Pasandaran, 2006) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah, yaitu
1. Kelangkaan sumberdaya lahan dan air,
2. dinamika pembangunan,
3. peningkatan jumlah penduduk.
            Sihaloho (2004) menjelaskan mengenai faktor-faktor penyebab konversi lahan di Kelurahan Mulyaharja, Bogor, Jawa Barat sebagai berikut:
1. Faktor pertambahan penduduk yang begitu cepat berimplikasi kepada permintaan terhadap lahan pemukiman yang semakin meningkat dari tahun ke tahun;
2. Faktor ekonomi yang identik dengan masalah kemiskinan. Masyarakat pedesaan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui hasil penjualan kegiatan pertanian yang umumnya rendah, berusaha mencari bentuk usaha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk mendapatkan modal dalam memulai usahanya, petani pada umumnya menjual tanah yang dimilikinya. Masyarakat pedesaan beranggapan akan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dari penjualan lahan pertanian untuk kegiatan industri dibandingkan harga jual untuk kepentingan persawahan. Di sisi lain pengerjaan lahan pertanian memerlukan biaya tinggi. Sehingga petani lebih memilih sebagian tanah pertaniannya untuk dijual untuk kegiatan non-pertanian;
3. Faktor luar, yaitu pengaruh warga dari desa-kelurahan perbatasan yang telah lebih dahulu menjual tanah mereka kepada pihak Perseroan Terbatas (PT);
4. Adanya penanaman modal pihak swasta dengan membeli lahan-lahan produktif milik warga;
5. Proses pengalihan pemillik lahan dari warga ke beberapa PT dan ke beberapa orang yang menguasai lahan dalam luasan yang lebih dari 10 hektar; dan
6. Intervensi pemerintah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Berdasarkan RTRW tahun 2005, seluas 269,42 hektar lahan Kelurahan Mulyaharja akan dialokasikan untuk pemukiman/perumahan real estate.




























ANALISIS KELOMPOK

Masalah pembangunan Indonesia sesungguhnya harus dibagi dua bagian besar yaitu:
1. Masalah obyek pembangunan
2. Subjek yang akan membangun kondisi lingkungannya.

Untuk itu perlu penggunaan pendekatan sosiologis untuk mengkaji masalah dan strategi pembangunan Indonesia. Pendekatan Sosiologi ini digunakan untuk mengetahui kondisi sosial masyarakat dan memahami kelompok sosial khususnya berbagai macam gejala kehidupan masyarakat.
Suatu proses perubahan sosial dapat terjadi secara sengaja dan tidak sengaja. Perubahan yang disengaja adalah perubahan yang telah direncanakan sebelumnya oleh anggota masyarakatnya yaitu pembangunan. Perubahan yang tidak disengaja adalah perubahan yang terjadi diluar pengawasan masyarakat dan menimbulkan akibat yang tidak disangka sama sekali. Jadi pembangunan perlu perhatian dan pengawasan dari masyarakat supaya tercapai kesejahteraan masyarakat.

Antara obyek dan subyek pembangunan tentunya tidak boleh dipisahkan. Sedang masalah obyek pembangunan di Indonesia bisa dibagi tiga yaitu:

I.A. masalah ketinggalan pembangunan umumnya dengan dunia modern

Ada beberapa bidang yang dibahas dalam buku ini mengalami ketertinggalan pembangunan. Internasionalisasi pasar ala Jepang dimana yang dimaksud internasionalisasi pasar adalah pemerintah bersama kalangan pengusahanya berusaha supaya titik berat usaha industri atau pertanian atau perdagangan. Jadi bukan sekedar bisa ekspor saja hingga akhinya mendorong adanya usaha patungan dengan pengusaha asing, dalam berbagai bidang.
Inilah salah satu ciri dunia usaha ekonomi global yang harus diwaspadai Indonesia dalam usaha memasuki sistem internasionalisasi pasar jangan sampai terjerumus pada kelatahan. Yang penting bukan banyaknya ekspor namun bagaimana keuntungan yang diperoleh dibandingkan dengan pihak asing. Jepang adalah pelopor dalam sistem internasionalisasi pasar. Ini merupakan strategi luar biasa Jepang setelah kekalahan totalnya di PD II.
Dengan semakin meningkatnya intensitas kerja sama antar pengusaha Jepang dengan pengusaha negara lain, kemudian kerjasama antarnegara, kemudian diikuti negara lain untuk meniru konsep-konsep Jepang dan akhirnya terjadi silang belajar dan kerjasama banyak negara dalam bermacam-macam bidang, maka lahirlah apa yang disebut ”ekonomi global”. Pengalaman internasionalisasi pasar Jepang tampaknya akan menjadi landasan membangun perdamaian dunia baru, disamping dunia harus berjuang memperluas wawasan para pemimpin negara dunia ketiga.
Teknologi memasuki bidang industri dengan meluasnya penggunaan robot dan komputer dalam industri. Akibatnya muncul arus memindahkan pabrik ke negara-negara yang tenaga manusianya lebih murah. Inilah peluang baru bagi negara-negara terbelakang dan sedang berkembang, perlu menyusun strategi secara tepat dalam  internasionalisasi pasar.
Kedudukan pasar produk petani di Indonesia masih sangat lemah, sehingga keuntungan sangat minim bila dibandingkan dengan laju kenaikan barang industri. Karena sebagian besar penduduk hidup di bidang pertanian yang kurang menguntungkan , maka jelas ada masalah besar dalam bidang sosial-ekonomi antara lain meningkatnya urbanisasi, keterlambatan pembangunan pertanian, dan lain-lain.
Komunikasi disamping manfaat yang besar, alat kamunikasi juga mengkomunikasikan macam–macam “jurang” pemabangunan yaitu macam– macam perbedaan pembangunan, kebelum merataan hasi pembangunan, gemerlap pembangunan di sisi kesuraman yang belum terjamah, dan lain–lain. Ketinggalan dalam mengkomunikasikan masalah–masalah pembangunan sekarang dan nanti itulah yang akan menjadi masalah.
Ketinggalan lain dalam bidang transportasi. Pembangunannya disamping terbentur dana juga banyak hambat oleh tipisnya penduduk. Pengusaha angkutan umum juga khawatir tidak bisa memperoleh keuntungan karena tipisnya penumpang.
Angkutan laut Indonesia merupakan fenomena paling aneh di dunia ini. Indonesia adalah negara kepulauan denggan 13.667 pulau.
Pola pembangunan untuk mencapai swasembada dalam macam-macam kebutuhan propinsi seperti swasembada pangan, sandang, bahan bangunan, alat rumah tangga, alat angkutan, dan lain-lain tampaknya malah justru tidak mendukung kebijaksanaan pembangunan nasional.

I.B. masalah pertumbuhan Pulau Jawa

Bangsa indonesia harus berusaha mengenal ciri – ciri tanah air dan bangsanya, untuk merencanakan pembangunannya. Salah satu ciri yang sangat mencolok dan perlu diperhitungkan dengan cermat adalah adanya perbedaan besar situasi dan kondisi pembangunan dan kependudukan P. Jawa dengan pulau luar Jawa.
Perbedaan itu muncul oleh anjangnya proses pertumbuhan, perubahan, dan pembangunan sejak ratusan tahun yang lalu maupun Orde baru. Namun jugaharus dilihat bgaimana usaha penduduk P. Jawa (termasuk para perantauan yang bekerja di Jawa membangun semua. Memamg gemerlap itu merupakan hasil jerih payah mereka selama ini.)
Salah satu faktor penting yang menyebabkan pembangunan di Jawa meroket adalah penduduk P. Jawa. yang sangat padat-. Kondisi ini menyebabkan berduyun – duyun pengusaha membangun pabrik di jawa. Maklum di jawa mengimpul 60% penduduk Indonesia padahal ghanya menempati areal kurang 7% dari luas daratan indonesia. Ini berarti mencari tambahan modal, gampang perizinannya, gampang prasarana pendukungnya.
Lebih jauh lagi, pendapatan daerah ternyata juga bersumber pada jumlah penduduk. Semakin padat  penduduknya semakin banyak orang yang harus membayar pajak, iuran, dan lain – lain. Maka kalau kepadatan penduduk P. Jawa tidak dikurangi, akan tetap menumpuk pula penanaman modal, pembangunan fasilitas pendidikan dan usaha, pembukaan lapangan kerja alias total jendral pembangunan di Jawa. Semakin besar pertambahan jumlah pen­duduk semakin besar daya sedot penanaman modalnya.
Jadi kalau pulau Jawa dibiarkan meningkatkan jumlah penduduknya sedang propinsi-propinsi di luar Jawa ma­lah berusaha menutup pintu bagi orang pindahan dari Jawa de­ngan macam-macam alasan dan kekhawatiran tersebut, maka pem­bangunan P. Jawa akan semakin meroket karena pendapatan daerahnya juga akan meroket. Ini berarti daerah luar Jawa akan semakin ketinggalan dalam mengumpulkan pendapatan daerah un­tuk membangun.
Masalah pergeseran budaya, dinggap perubahan budaya itu wajar di sepanjang segala abad, dan bahkan itulah pertanda kemajuan. Masalahnya adalah masyarakat/ sekelompok masyarakat setempat khawatir kalau  kelestarian budaya yang dianggap tinggi nilainya dirusak oleh adanya komunikasi dengan pendatang baru itu. Namn sangat tergantng dari kemandirian, jati diri dan tingginya nilai – nilai yang dikandungnya. Itulah sebabnya rakyat bali tidak takut kebanjiran turis.
Perubahan struktur ekonomi dan tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai Indonesia masih terjadi pada level nasional. sedangkan pada level daerah, tidak semua daerah memperoleh manfaat dari strategi tersebut, terutama daerah-daerah di luar pulau Jawa. Malah strategi yang diterapkan tersebut, secara bertahap telah memperlebar kesenjangan ekonomi antara pulau Jawa dengan pulau-pulau besar lainnya. Telah terbangun pula pola hubungan antara pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya dengan pola dominan-tergantung, dimana pulau Jawa (sebagai centre) pada posisi dominan dan pulau-pulau lainnya (sebagai periphery) pada posisi tergantung.
Era otonomi daerah (Otda), sekalipun masih dalam masa awal, hendaknya menjadi titik balik untuk mengubah pola hubungan dari dominan-tergantung menjadi pola saling tergantung secara berimbang. Semangat untuk mengubah pola hubungan antar daerah ini harus dibangun oleh pemerintah pusat dan daerah, yang disertai dengan upaya-upaya sistimatis dan sungguh-sungguh untuk mencapainya. Apabila pola hubungan antar daerah telah berubah menjadi saling tergantung secara berimbang, maka semua daerah akan memberikan kontribusi yang optimal terhadap pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi nasional sembari memperkecil kesenjangan ekonomi antar daerah.





Analisis Tolak Ukur dan Klasifikasi Situasi dan Kondisi Daerah
Kalimantan Timur dan Irian Jawa
            Mengalami masalah pemberdayaan daerah dimana tiap-tiap daerah hendaknya dibagi-bagi dalam control sosialnya, dimaksudkan agar pengelolaan dan pengawasan sumber daya serta masyarakat dapat dipimpim secara penuh.

Suasembada perlu diganti dengan manajemen saling ketergantungan
            Hal ini dimaksudkan agar tiap-tiap daerah baik di pulau jawa maupun di luar pulau jawa yaitu sumatera agar memilik sumber penghasilan yang terarah yaitu memanfaatkan daerah produksi (pulau jawa) dengandaerah penghasil bahan baku (sumatera). Ini dimaksudkan agar terjadinya manajemen saling ketergantungan dimana pemanfaatan hasil perkebunan dari sumatera dapat diolah di pulau jawa sehingga dapat menggerakkan roda ekonomi daerah masing-masing.
            Kekurangan manajemen saling ketergantungan adalah dimana kemajuan suatu daerah ditentukan oleh hasil produksi serta fasilitas yang lengkap dan memadai seperti pendidikan, lapangan pekerjaan, serta masuknya pasar bebas hanya di dapat di daerah produksi (pulau jawa). Inilah yang menyebabkan lambannya kemajuan dan perkembangan suatu daerah yang dominanpenghasil bahan baku.

Kebijaksanaan yang membangun jurang.
            Kebijaksanaa yang menyebabkan ketimpangan suatu daerah akan tampak apabila pembangunan dan pertumbuhan dipusatkan di suatu wilayah saja seperti daerah pulau jawa yang rata-rata daerahnya adalah daerah produksi sehingga menjamin fasilitas yang lengkap. Inilah yang menyebabkan daerah lain lamban dalam proses pembangunan karena pemerintah hanya memusatkan perhatiannya kepada daerah produksi saja.

Analisis pembangunan hutan dan Konversi Lahan
Sihaloho, (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan berimplikasi pada perubahan struktur agraria. Adapun perubahan yang terjadi, yaitu:
1) Perubahan pola penguasaan lahan. Pola penguasaan tanah dapat diketahui dari pemilikan tanah dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain. Perubahan yang terjadi akibat adanya konversi yaitu terjadinya perubahan jumlah penguasaan tanah. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa petani pemilik berubah menjadi penggarap dan petani penggarap berubah menjadi buruh tani. Implikasi dari perubahan ini yaitu buruh tani sulit mendapatkan lahan dan terjadinya prose marginalisasi.
2) Perubahan pola penggunaan tanah. Pola penggunaan tanah dapat dari bagaimana masyarakat dan pihak-pihak lain memanfaatkan sumber daya agraria tersebut. Konversi lahan menyebabkan pergeseran tenaga kerja dalam pemanfaatan sumber agraria, khususnya tenaga kerja wanita. Konversi lahan mempengaruhi berkurangnya kesempatan kerja di sektor pertanian. Selain itu, konversi lahan menyebabkan perubahan pada pemanfaatan tanah dengan intensitas pertanian yang makin tinggi. Implikasi dari berlangsungnya perubahan ini adalah dimanfaatkannya lahan tanpa mengenal sistem “bera”, khususnya untuk tanah sawah.
3) Perubahan pola hubungan agraria. Tanah yang makin terbatas menyebabkan memudarnya sistem bagi hasil tanah “maro” menjadi “mertelu”. Demikian juga dengan munculnya sistem tanah baru yaitu sistem sewa dan sistem jual gadai. Perubahan terjadi karena meningkatnya nilai tanah dan makin terbatasnya tanah.
4) Perubahan pola nafkah agraria. Pola nafkah dikaji berdasarkan sistem mata pencaharian masyarakat dari hasil-hasil produksi pertanian dibandingkan dengan hasil non pertanian. Keterbatasan lahan dan keterdesakan ekonomi rumah tangga menyebabkan pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.
5) Perubahan sosial dan komunitas. Konversi lahan menyebabkan kemunduran kemampuan ekonomi (pendapatan yang makin menurun). Dalam tulisan ini juga dijelaskan terjadinya polarisasi.

Kesejahteraan masyarakat
Menurut Sadiwak (1985), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi itu sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsipun dapat dilakukan tanap menimbulkan biaya konsumennya.
Tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga dapat diukur dengan jelas melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumahtangga tersebut. Mengingat data yang akurat sulit diperoleh, maka pendekatan yang sering digunakan adalah melalui pendekatan pengeluaran rumahtangga. Pengeluaran rata-rata per kapita per tahun adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumahtangga selama setahun untuk konsumsi semua anggota rumahtangga dibagi dengan banyaknya anggota rumahtangga. Determinan utama dari kesejahteraan penduduk adalah daya beli. Apabila daya beli menurun maka kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup menrun sehingga tingkat kesejahteran juga akan menurun (BPS, 1995).
Indikator kesejahteraan rakyat menyajikan gambaran mengenai taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antar waktu, perkembangannya antar waktu serta perbandingannya antar populasi dan daerah tempat tinggal (perkotaan dan pedesaan). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari suatu aspek tertentu. Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS (1995), antara lain :
1. Kependudukan
2. Kesehatan dan gizi
3. Pendidikan
4. Ketenagakerjaan
5. Taraf dan pola konsumsi
6. Perumahan dan lingkungan
7. Sosial dan budaya
Berdasarkan hasil penelitian lembaga penelitian Smeru (2005) dengan menggunakan Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masyarakat dihasilkan indicator kesejahteraan sebagai berikut :
1. Konsumsi makanan dan indikator kesehatan
2. Akses terhadap lembaga keuangan
3. Sektor pekerjaan
4. Anggota keluarga yang bekerja
5. Tingkat pendidikan kepala keluarga dan pasangan
6. Jenis kelamin kepala keluarga
7. Status perkawinan
8. Kepemilikan binatang ternak


Tidak ada komentar:

Posting Komentar